PACITAN TERKINI - Sekitar satu minggu setelah Hari Raya Idulfitri, masyarakat Jawa merayakan tradisi riyoyo kupat atau hari raya kupat. Tradisi ini memiliki akar budaya yang dalam, dengan penyebutan kata kupat, akupat, dan khupat-kupatan sudah ada dalam karya sastra klasik seperti Kakawin Kresnayana, Subadra Wiwaha, dan Kidung Sri Tanjung, dilansir dari BPK_XI Jum'at (11/4/25).
Secara filosofis, kupat merupakan akronim dari “ngaku lepat” atau pengakuan atas kesalahan. Bentuknya yang segi empat melambangkan filosofi “kiblat papat lima pancer”, yaitu keseimbangan empat arah mata angin dengan satu pusat sebagai lambang harmoni semesta. Janur atau daun kelapa muda yang digunakan sebagai pembungkus ketupat menyimbolkan “jati ning nur”, yakni kejernihan hati nurani. Tak hanya menjadi simbol permintaan maaf dan keberkahan, ketupat juga dipercaya sebagai penolak bala, bahkan sering digantung di pintu rumah hingga kering.
Tradisi ini dikenal luas sebagai ajaran Sunan Kalijaga, yang mengaitkannya dengan puasa sunah enam hari di bulan Syawal sebagai penyempurna Ramadan. Di Jawa Timur, kupat biasanya disajikan bersama opor ayam, sayur labu siam, dan sambal goreng. Ketupat juga kerap dijadikan hantaran kepada tetangga atau keluarga, atau dibawa ke mushola untuk disantap bersama dalam suasana kebersamaan.
Tak lengkap rasanya kupatan tanpa kehadiran lepet, makanan pendamping yang telah populer sejak era Hindu-Buddha. Bahan dasar lepet terdiri dari ketan putih, parutan kelapa, dan kacang tolo. Kata lepet berasal dari makna “silep kang rapet”, yakni menutup rapat kesalahan agar tidak terulang, serta mempererat persaudaraan seperti ketan yang melekat. Bentuk lepet yang menyerupai mayat dengan tiga ikatan tali menyiratkan bahwa dendam dan kesalahan sebaiknya dikubur dalam-dalam. Uniknya, kata lepet juga sering menjadi candaan dalam menggambarkan bentuk tubuh yang berlekuk-lekuk.