PACITAN TERKINI - Tanah Wengker wilayah yang kini dikenal meliputi Kabupaten Ponorogo dan sebagian daerah sekitarnya menyimpan kisah panjang yang sarat nilai moral, spiritual, dan sejarah kekuasaan. Sejak masa kuno, Wengker dikenal sebagai tanah yang subur, kaya sumber daya, namun juga sarat konflik kekuasaan dan perebutan pengaruh. Dalam naskah-naskah babad Jawa, Wengker digambarkan sebagai negeri kuat yang kerap menjadi simbol keangkuhan manusia terhadap tatanan ilahi dan sosial.
Ungkapan kuno “Sopo daksio marang sepodo bakal ciloko; tumindak adigang, adigung lan adiguno bakal rekoso pungkasé” menjadi semacam wejangan leluhur bagi tanah ini. Artinya, siapa pun yang memandang rendah sesamanya akan celaka; siapa yang hidup dengan mengandalkan kekuasaan, kebesaran, dan kesaktian semata tanpa kerendahan hati akan berakhir dalam kesengsaraan. Nilai ini sejatinya menjadi refleksi atas tragedi-tragedi sosial dan politik yang berkali-kali terjadi di Wengker dari masa lampau hingga masa kini.
Dalam catatan sejarah klasik, Kerajaan Wengker pernah menjadi wilayah yang kuat di bawah pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Kediri dan Majapahit. Namun kejatuhannya sering dikaitkan dengan sifat “adigang, adigung, adiguna” kesombongan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa lokal. Ketika pemimpin kehilangan rasa welas asih terhadap rakyat, dan mengandalkan kekuatan pribadi atau kesaktian spiritual, maka kehancuran pun menjadi keniscayaan. Inilah tragedi Wengker pertama runtuhnya kekuasaan karena keserakahan dan kehilangan kebijaksanaan.
Berlanjut ke masa kolonial, Wengker atau Ponorogo menjadi saksi penderitaan rakyat akibat penindasan, pajak, dan perang. Namun semangat perlawanan dari rakyat Wengker tetap membara, menandakan bahwa meski tanah ini sering dirundung tragedi, ia juga melahirkan jiwa pemberontak terhadap ketidakadilan. Dari Trunojoyo hingga tokoh-tokoh pergerakan lokal, Wengker melahirkan banyak figur yang melawan penindasan atas nama kebenaran dan harga diri rakyat kecil.
Memasuki era modern, pesan leluhur Wengker seolah masih hidup dan relevan. Banyak peristiwa sosial, ekonomi, bahkan politik di Ponorogo dan sekitarnya masih mencerminkan siklus karma sosial sebagaimana tersirat dalam pepatah Jawa kuno tersebut. Ketika pemimpin atau pejabat berlaku sombong, memperalat kekuasaan untuk kepentingan pribadi, atau meremehkan nilai keadilan, maka “rekoso pungkasé” kesulitan di akhir menjadi keniscayaan moral dan sosial.
Tragedi modern di Tanah Wengker bukan lagi pertempuran fisik, melainkan krisis etika dan spiritualitas. Korupsi, kesenjangan sosial, dan hilangnya rasa empati antar sesama adalah bentuk baru dari “adigang, adigung, adiguna” zaman kini. Leluhur Wengker telah memberi peringatan melalui pepatah itu: kekuasaan tanpa kebajikan hanyalah ilusi yang menuntun pada kehancuran.
Kini, makna “Tanah Wengker” tidak hanya berbicara tentang ruang geografis, tetapi juga ruang batin manusia Jawa tentang perjuangan menundukkan ego, menjaga keseimbangan antara kuasa dan welas asih, serta mengingat bahwa semua kejayaan akan berakhir jika tidak berlandaskan kebijaksanaan. Dengan memahami pesan moral ini, masyarakat Ponorogo dan sekitarnya diharapkan mampu menjadikan sejarah Wengker sebagai cermin spiritual, agar tragedi masa lalu tidak berulang dalam wajah baru zaman modern. (Amat Taufan-Redaksi)