Seperti akar yang saling bertaut di dalam tanah, mengokohkan pohon agar tetap tegak berdiri, demikian pula tradisi dan nilai-nilai budaya menyusun kehidupan masyarakat. Salah satu akar kuat yang menopang kehidupan sosial di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur adalah mbecek—tradisi yang mengalir dalam nadi masyarakat sebagai simbol gotong royong dan kebersamaan.
Bukan “mbecek” yang berarti tanah becek karena hujan, melainkan sesuatu yang lebih hangat, lebih guyub, dan jauh lebih bermakna. Jika seseorang melintas di daerah pedesaan Pacitan, terutama di wilayah Sudimoro, lalu melihat kerumunan orang berduyun-duyun menuju sebuah rumah beratap terop sambil membawa amplop atau gawan, besar kemungkinan di sanalah tengah tergelar sebuah tradisi lokal yang dijuluki mbecek.
Sekilas paparan ini menyoroti praktik kearifan lokal dalam tradisi mbecek serta peranannya sebagai perekat sosial budaya masyarakat, dengan harapan agar tradisi ini tidak hanya dikenang, tetapi juga terus dirawat sebagai warisan budaya yang mencerminkan karakter sosial masyarakat Pacitan.
Secara etimologis dan fungsional, tradisi mbecek di berbagai daerah memiliki padanan yang berbeda. Sebagian masyarakat Jawa menyebutnya dengan istilah “nyumbang,” “buwoh,” atau “ewuh” (Prasetyo, 2010). Tidak ditemukan sumber tertulis yang pasti tentang kapan tradisi ini pertama kali muncul, namun diyakini bahwa mbecek telah hidup dalam denyut sosial masyarakat Pacitan sejak lama—menjadi bagian tak terpisahkan dari nilai gotong royong dalam budaya Jawa.
Berdasarkan konteks sosial tersebut, mbecek dapat dipahami sebagai pengejawantahan filosofi sosial masyarakat Jawa tentang nyaur utang, tanggung jawab sosial, dan rasa ora penak (tidak enak hati) jika tidak turut berpartisipasi. Tradisi ini muncul dari kesadaran bahwa kehidupan tidak selalu stabil—kadang naik, kadang turun. Ketika seseorang memiliki hajat, masyarakat hadir membawa sesuatu sebagai bentuk “balas budi” dari bantuan yang pernah diterima di masa lalu.
Meski tampak seperti membayar utang, praktik ini dilakukan secara sukarela dengan semangat solidaritas dan empati. Selama dapat meringankan beban sesama, maka tradisi ini akan terus hidup (Maryam & Arsyad, 2022). Di baliknya juga terkandung nuansa spiritual; ada keyakinan bahwa mbecek bukan sekadar tradisi sosial, melainkan wujud upaya menjaga harmoni antarwarga sebagai bagian dari tanggung jawab moral (Suaidin dkk., 2024).
Uniknya, kehadiran seseorang dalam hajatan tidak selalu didasari oleh undangan formal. Di Pacitan, datang tak diundang justru dinanti. Ketika seseorang menggelar hajatan—entah pernikahan, khitanan, ngruwat, atau selamatan—orang-orang berdatangan dengan membawa amplop, beras, mie kuning, atau bahkan sekadar niat baik. Tuan rumah akan tetap menyambut dengan senyum, meski dapur mungkin sudah repot karena tamu datang melebihi perkiraan. Tradisi mbecek tidak hanya menjadi adat, tetapi telah menjadi identitas sosial.
Dari hasil observasi dan pengalaman langsung, di wilayah Sudimoro, tradisi ini bersifat terbuka—laki-laki dan perempuan sama-sama diundang dan datang memberi sumbangan. Namun di daerah lain seperti Ngadirojo atau Lorok, undangan lebih selektif dan biasanya didominasi oleh laki-laki. Perbedaan ini memperkaya makna bahwa meski bentuk pelaksanaannya beragam, nilai inti mbecek tetap sama: solidaritas sosial dan saling membantu tanpa pamrih.
Suasana khas tradisi mbecek tampak nyata dalam hajatan Tn. Anto (Menthok) dan Ny. Luki, pemilik usaha ayam potong “Lucky Chicken” di Desa Klepu, Kecamatan Sudimoro, pada April 2025. Undangan disebar lewat berbagai cara, mulai dari kabar mulut ke mulut, poster digital di media sosial, hingga siaran radio lokal. Hiburan campursari tayub New Radhita turut memeriahkan acara selama dua hari berturut-turut.
Menurut Heru Santoso, salah satu panitia pencatat keuangan, tamu yang hadir mencapai ribuan orang, dan total sumbangan pun menembus angka fantastis. Ada pula tamu yang menyelipkan “kartu undangan saku”—semacam isyarat halus bahwa mereka pun akan menggelar hajatan dalam waktu dekat. Fenomena ini menegaskan semangat timbal balik dalam mbecek, semacam prinsip win-win solution: bantu sekarang, agar kelak dibantu balik.
Mengacu pada temuan Huda dkk. (2023), pelaksanaan mbecek memiliki alur yang relatif seragam. Warga datang ke rumah yang punya hajat membawa gawan dalam wadah tertutup kain taplak. Gawan diserahkan ke perewangan di depan pintu masuk, lalu nama dan alamat tamu dicatat dalam buku tamu sebagai dokumentasi sosial.
Ada juga yang memilih membawa amplop berisi uang sebagai bentuk partisipasi yang lebih praktis. Setelah bersalaman dan makan bersama, tamu pulang membawa berkat sebagai bentuk penghormatan dari tuan rumah. Di balik jamuan soto atau bakso dan amplop sederhana itu, tersimpan nilai sosial yang besar: pentingnya hadir, memberi, dan terlibat. Dalam budaya Jawa, kearifan lokal seperti ini berfungsi sebagai penopang kehidupan sosial (Saddhono & Pramestuti, 2018).
Mbecek bukan sekadar menyumbang, melainkan sarana memperkuat hubungan, menumbuhkan empati, dan menjaga keseimbangan sosial di tengah masyarakat. Ia menjadi media pendidikan sosial yang efektif; anak-anak muda yang ikut membantu di dapur atau mencatat sumbangan belajar langsung tentang tanggung jawab, kebersamaan, dan gotong royong—nilai-nilai luhur yang diwariskan secara alami tanpa perlu diajarkan secara formal di kelas.
Namun, modernisasi membawa tantangan baru. Di era digital, undangan bisa dikirim lewat WhatsApp, sumbangan ditransfer melalui rekening, dan ucapan selamat disampaikan lewat emoji. Interaksi menjadi lebih efisien, tapi kehilangan sentuhan emosional yang dulu menjadi roh dari setiap pertemuan.
Mbecek kini menghadapi ancaman perubahan nilai: ketika efisiensi menggeser empati. Meski begitu, tradisi ini masih punya napas selama masyarakat masih memiliki rasa ora penak jika tidak datang, selama masih ada kesadaran bahwa kehadiran adalah bentuk kepedulian sosial.
Pelestarian tradisi ini memerlukan keterlibatan keluarga, tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, dan komunitas digital agar generasi muda memahami bahwa mbecek bukan sekadar adat atau acara makan bersama, melainkan cerminan jati diri dan solidaritas sosial orang Pacitan.
Pada akhirnya, mbecek adalah bukti hidup bahwa masyarakat Pacitan memiliki akar budaya yang kokoh dan berjiwa gotong royong. Tradisi ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, pengingat bahwa dalam kehidupan yang serba cepat dan sibuk, manusia tetap membutuhkan alasan untuk datang, saling sapa, dan memberi bukan hanya uang, melainkan rasa.
Pelestarian tradisi mbecek tidak boleh berhenti pada nostalgia; perlu ada upaya nyata dalam dokumentasi, pendidikan budaya, dan praktik sosial yang berkelanjutan.
Selama tangan-tangan masih terulur untuk membantu dan hati-hati masih tergerak untuk hadir, maka mbecek akan tetap menjadi denyut kehidupan sosial masyarakat Pacitan—akar budaya yang tak pernah mati, menumbuhkan semangat kebersamaan di tengah zaman yang terus berubah.