PACITAN TERKINI - Kenangan bersama Uti Sugiyem adalah potongan waktu yang penuh kehangatan, kesederhanaan, dan cinta yang tulus—sebuah kisah kecil yang menjadi saksi bagaimana kasih seorang nenek mampu membentuk keteguhan hati cucunya.
Saat aku lahir 54 tahun lalu, Uti Giyem, begitu aku memanggilnya, adalah sosok yang pertama kali memelukku dengan kasih sayang yang tak pernah surut. Ia merawatku sepenuh hati, di samping kasih sayang ibunda tercinta, Sulasmi. Dalam pelukannya, aku menemukan dunia kecil yang damai—dunia tanpa kemewahan, namun penuh ketulusan.
Masa-masa kecilku bersama Uti seperti lukisan kehidupan di desa yang sederhana. Aku tumbuh di rumah yang belum tersentuh aliran listrik. Malam hari selalu diwarnai cahaya redup lampu minyak, dan di sanalah aku sering menemani uti tidur. Kadang aku mendengarkan napasnya yang tenang, kadang mendengar suara jangkrik dari luar jendela bambu. Dalam kesunyian itu, aku belajar arti kehangatan manusia—bukan dari kata-kata, melainkan dari kehadiran.
Ada hal yang selalu kuingat tentang uti: kegemarannya “njegol”, yakni memutar dan menggulung tembakau yang telah dibuat bulat, sambil sesekali menikmati siri pinang. Tangan yang kasar karena kerja keras itu adalah tangan yang sama yang menyuapiku setiap kali makan. Aku masih ingat aroma tembakau dan siri yang samar menempel di jemarinya, namun bagiku itulah rasa kasih yang sesungguhnya. Setiap suapan terasa seperti bentuk cinta yang sederhana, tapi dalam.
Uti Sugiyem juga sangat protektif terhadapku. Ia selalu ingin tahu ke mana aku pergi, dengan siapa aku bermain, bahkan berapa lama aku di luar rumah. Baginya, sungai yang mengalir di dekat rumah bukan sekadar tempat bermain, tapi juga ancaman bagi cucunya yang aktif dan penasaran. Aku tahu itu bentuk cintanya—cara seorang nenek menjaga tanpa banyak bicara.
Tahun 1984 menjadi masa yang paling melekat di ingatanku. Saat itu, aku sedang mempersiapkan ujian masuk SMP Negeri 1 Pacitan, sekolah impianku, yang saat itu masih menggunakan sistem tes masuk. Namun di sisi lain, uti sedang sakit keras. Dalam kegelisahan antara belajar dan rasa takut kehilangan, aku merasakan percampuran emosi yang sulit dijelaskan—antara tanggung jawab seorang anak dan kasih yang tak ingin lepas dari sosok yang membesarkannya. Aku masih ingat, setiap kali aku membuka buku pelajaran, di ruang sebelah terdengar napas berat uti. Saat itu aku belajar arti perjuangan—antara cita-cita dan rasa cinta.
Kini, puluhan tahun telah berlalu. Wajah uti mungkin hanya tinggal dalam kenangan samar di pikiranku, namun setiap kali aku mencium aroma tembakau kering atau melihat orang tua menimang cucunya di beranda rumah, bayangan uti seolah kembali hadir. Dalam hidupku yang terus berjalan, aku sadar bahwa kasih sayang tulus seperti milik Uti Sugiyem tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berpindah tempat—dari pelukannya ke dalam hatiku.
Mengenang uti bukan sekadar mengenang masa kecil. Ia adalah perjalanan spiritual tentang arti kesabaran, kasih tanpa pamrih, dan ketulusan yang membentuk karakter seseorang. Dari seorang nenek yang sederhana di desa tanpa listrik, aku belajar menjadi manusia yang tahu arti syukur, tahu arti cinta, dan tahu bahwa dalam setiap langkah hidupku, ada doa seorang wanita tua bernama Sugiyem yang pernah menimangku dengan penuh kasih di bawah cahaya lampu minyak.
Doa untuk Almarhumah Uti Sugiyem
Bismillāhirraḥmānirraḥīm.
Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Pada hari ini kami memanjatkan doa penuh cinta untuk almarhumah Uti Sugiyem,
sosok yang dengan kasih tulusnya telah merawat, menjaga, dan membimbing kami sejak kecil.
Ya Allah, ampunilah segala dosa dan khilaf beliau,
lapangkanlah kuburnya, jadikanlah taman dari taman-taman surga,
dan jauhkanlah dari segala siksaan dan kesempitan.
Ya Allah, terimalah semua amal baiknya —
setiap suapan kasih, setiap pelukan hangat, setiap langkah yang penuh keikhlasan —
sebagai amal jariyah yang terus mengalir pahalanya hingga akhir zaman.
Ya Allah, gantikan lelahnya dengan ketenangan abadi,
gantilah air matanya dengan senyuman surgawi,
dan tempatkanlah beliau di sisi-Mu, di tempat yang paling mulia bersama para hamba-Mu yang saleh.
Ya Allah, jadikan kami keluarga yang senantiasa mendoakannya,
yang meneruskan kebaikan dan kasih sayangnya di dunia ini.
Allāhumma ighfirlahā, warḥamhā, wa ‘āfihā, wa‘fu ‘anhā.
Waj‘alil-jannata ma’wāhā, warzuqnā liqā’ahā fī jannatin-na‘īm.
Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.