Cahaya di Tengah Gelap

 

PACITAN TERKINI - Tahun 1987, pagi di Pacitan masih sering diselimuti kabut tipis. Dari rumah yang beratap seng dan berdinding anyaman bambu, aku melangkah ke sekolah dengan sepeda ontel warisan kakak. Jaraknya lumayan jauh, tapi semangat itu seolah tak pernah padam—karena setiap pagi, ayah selalu berpesan dengan suara tegas namun dalam,  “Sekolah sing temen, Le. Urip iku kudu nduwé ilmu lan tahan banting.”

Aku baru saja diterima di SMAN 1 Pacitan, sekolah kebanggaan yang jadi idaman banyak anak di kabupatenku. Rasanya seperti mimpi. Anak desa, baru tiga tahun menikmati listrik, kini belajar di sekolah yang katanya tempat anak-anak pintar dari berbagai penjuru.

Tapi mimpi itu cepat berubah jadi perjuangan.

Memasuki kelas dua, aku ditempatkan di jurusan A1 – Fisika, kelas yang penuh dengan angka, rumus, dan tumpukan buku tebal. Setiap malam, cahaya lampu minyak sering jadi saksi bagaimana aku berjuang memecahkan soal-soal fisika yang rasanya tak berkesudahan. Kadang aku menulis rumus sambil menahan kantuk, dan entah bagaimana, ujung pensilku ikut rebah di atas buku.

Tapi ada hal yang selalu membangunkanku kembali — bayangan wajah ayah.

Seorang pria desa dengan kulit legam dan mata tajam. Didikan beliau keras, tapi bukan tanpa kasih. “Kalau tidak masuk PTN, kamu tidak boleh kuliah,” katanya suatu malam. Kalimat itu seperti palu, tapi juga cambuk semangat. Aku tahu, bukan karena beliau tak sayang, melainkan karena biaya kuliah di luar kemampuan. Maka baginya, hanya PTN-lah harapan.

Hari-hari menjelang Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) adalah masa yang menegangkan. Buku pelajaran jadi teman paling setia; novel, musik, bahkan pertemanan pun seolah tak sempat disentuh. Kadang aku iri melihat teman-teman yang bisa bercanda bebas di halaman sekolah, tapi aku sadar — bagi anak desa sepertiku, masa depan bukan datang dari keberuntungan, tapi dari kerja keras yang tak kenal waktu.

Dan akhirnya, hari itu datang.

Sore di bulan Juli, aku membuka-buka lembaran demi lembaran Jawa Pos untuk meihat apakah aku di erima di salah satu PTN ternama di Malang.  Tangan gemetarku membuka lipatannya. Dalam sekejap mataku berkaca-kaca—aku diterima di perguruan tinggi negeri di Malang.  Walaupun itu bukan pilian perama namun pilihan kedua.  

Ayah yang biasanya keras, hari itu hanya diam. Tapi aku melihat sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya: matanya basah.

“Alhamdulillah, Le... kerja kerasmu ora sia-sia,” katanya lirih.

Suara itu menembus hatiku. Semua lelah, semua malam tanpa tidur, semua ketakutan... berubah jadi rasa syukur yang tak terucap.

Kini, setiap kali aku melewati gedung tua bekas SMA itu, kenangan itu datang seperti film lama. Aku tersenyum mengingat anak desa yang dulu menatap bintang-bintang dengan lampu minyak, bermimpi menembus batas kota dan waktu.

Sebab bagiku, masa SMA bukan hanya tentang pelajaran, tapi tentang belajar menjadi manusia yang sabar, kuat, dan penuh harapan.

Dan setiap kali aku menatap langit malam yang kini terang oleh listrik, aku tahu — cahaya itu dulu lahir dari gelap yang pernah kuterangi dengan tekad dan doa.

Doa untuk Almarhum Ayahanda P.H. Yoewono

Bismillahirrahmanirrahim.
Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
pada malam yang hening ini, aku datang dengan hati yang penuh kerinduan.
Kepada-Mu, ya Rabb, aku memohon dengan segenap ketulusan jiwa —
terimalah ayahandaku tercinta, P.H. Yoewono,
dalam limpahan rahmat dan kasih sayang-Mu yang tiada batas.

Ya Allah,
Engkau telah memanggilnya pulang dengan cara yang terbaik.
Kini tiada lagi langkah-langkah tegasnya di rumah kami,
tiada lagi nasihat bijaknya yang menuntun kami dalam setiap keputusan,
namun kami yakin, ruhnya kini beristirahat dalam kedamaian di sisi-Mu.

Ampunilah segala dosa dan khilaf beliau, ya Allah,
lapangkanlah kuburnya,
jadikanlah setiap butir tanah yang menaungi tubuhnya
sebagai selimut rahmat dan cahaya.
Berikanlah kepada beliau tempat terbaik di sisi-Mu —
tempat yang Kau janjikan bagi hamba-Mu yang beriman dan beramal saleh.

Ya Allah,
kami bersaksi bahwa ayahanda kami adalah sosok yang mencintai keluarga,
yang mendidik anak-anaknya dengan kasih dan ketegasan,
yang bekerja keras tanpa pamrih demi masa depan kami.
Jadikanlah setiap keringat dan pengorbanannya
sebagai ladang amal yang terus mengalir pahala hingga akhir zaman.

Dan untuk kami, anak-anaknya,
berikanlah kekuatan untuk melanjutkan perjuangan beliau.
Tanamkan dalam hati kami kesabaran, keikhlasan, dan rasa syukur,
agar kami bisa menjadi anak-anak yang senantiasa
mengirimkan doa, amal, dan kebaikan atas nama beliau.

Ya Allah,
jika rindu ini terasa menyesakkan dada,
ingatkanlah kami bahwa perpisahan ini hanyalah sementara.
Kelak, di surga-Mu yang abadi,
pertemuan itu akan Kau hadirkan kembali —
tanpa air mata, tanpa perpisahan, hanya cinta dan ridha-Mu yang kekal.

Al-Fatihah.
(dibaca untuk almarhum ayahanda P.H. Yoewono)


Lebih baru Lebih lama