Melodi Langit di Tanah Tegalombo, Sholawatan Jawa Sebagai Warisan Abadi

 

Oleh: FIA NUR AINI -PBSI STKIP PGRI Pacitan

Budaya Sholawatan  Jawa di Kecamatan Tegalombo merupakan salah satu ekspresi religius sekaligus kultural yang telah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Tradisi ini lahir dari perpaduan antara ajaran Islam yang dibawa para ulama terdahulu dengan kearifan lokal masyarakat Jawa yang memaknai kesenian sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Daerah  Tegalombo, Budaya Sholawatan  Jawa bukan sekadar lantunan kalimat pujian kepada Nabi Muhammad, tetapi menjadi cermin dari identitas sosial, spiritualitas, dan rasa kebersamaan yang mengikat masyarakat lintas generasi.

Sejak lama masyarakat Tegalombo menjadikan selawatan sebagai pengiring dalam berbagai kegiatan keagamaan, seperti khataman, pengajian, acara tahlilan, sedekah bumi, dan berbagai peringatan hari besar Islam yang selalu diisi dengan suasana syahdu dan penuh makna.

Dalam praktiknya, Budaya Sholawatan  Jawa di Tegalombo memiliki kekhasan tersendiri karena menggunakan langgam Jawa yang lembut, penuh rasa, dan sangat dekat dengan tradisi musikal masyarakat desa setempat.

Sholawatan di Tegalombo memadukan dua unsur utama: vokal dan iringan alat tabuh tradisional seperti rebana, terbang, jedor, dan keprak. Perpaduan suara vokal yang berisi syair shalawat dengan tabuhan yang ritmis menghadirkan suasana religius yang tak hanya menggetarkan, tetapi juga menghadirkan kedekatan emosional bagi masyarakat yang mendengarnya.

Rebana dan terbang memainkan pola ritme yang mengatur tempo pembacaan shalawat, sementara jedor memberikan nada bass yang kuat untuk memberikan ketegasan pada setiap bait. Keprak, dengan suaranya yang khas dan lebih tajam, berfungsi mempertegas transisi antarbagian shalawat dan menambah hidup suasana pembacaan.

Kekuatan alat-alat tabuh ini tidak hanya terletak pada bunyinya, tetapi juga pada simbolisasi kebersamaan—karena penggunaan alat tabuh selalu membutuhkan kerja sama para penabuh untuk menghasilkan harmoni yang padu. Hal ini menjadi metafora bagi kehidupan masyarakat Tegalombo yang menjunjung tinggi gotong royong serta nilai-nilai kebersamaan dalam setiap sendi kehidupan mereka.

Selain aspek musikalitasnya, selawatan juga berfungsi sebagai media pendidikan moral yang efektif di tengah masyarakat Tegalombo. Syair-syair yang dilantunkan berisi pujian kepada Nabi Muhammad, doa-doa penuh makna, serta ajaran mengenai akhlak mulia yang mestinya diteladani dalam kehidupan sehari-hari.

Anak-anak dan remaja yang sering mengikuti kegiatan selawatan secara tidak langsung menyerap nilai sopan santun, ketawadhuan, serta sikap hormat kepada orang tua dan sesama. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang mempertemukan tradisi lisan dan musikal dengan pendidikan karakter yang sederhana namun mengena.

Para sesepuh desa sering mengatakan bahwa anak yang sejak kecil terbiasa mendengarkan selawatan akan memiliki hati yang lembut, sederhana, dan mudah menerima nasihat. Karena itulah keluarga-keluarga di Tegalombo masih mempertahankan sholawatan sebagai bagian integral dari proses pembentukan kepribadian generasi muda.

Pelestarian Budaya Sholawatan  Jawa di Tegalombo juga tak lepas dari peran kelompok-kelompok selawatan yang tersebar di hampir setiap desa. Kelompok-kelompok ini biasanya dibentuk oleh tokoh masyarakat, takmir masjid, atau para pemuda yang memiliki kepedulian terhadap warisan budaya leluhur.

 Mereka mengadakan latihan rutin, bukan hanya untuk menjaga kualitas vokal dan tabuhan, tetapi juga untuk merawat rasa kebersamaan antaranggota. Latihan-latihan ini sering dilakukan setelah maghrib atau menjelang malam, ketika udara desa mulai sejuk dan suasana menjadi lebih kondusif untuk melantunkan sholawat. Anak-anak muda yang dahulu sempat menjauh dari tradisi karena perubahan zaman kini mulai kembali bergabung, mereka melihat bahwa sholawatan bukan sesuatu yang kuno, melainkan ruang yang memberi identitas lokal dan penguatan religius di tengah derasnya arus globalisasi.

Momentum pelestarian tradisi sholawatan di Tegalombo mencapai puncaknya pada penyelenggaraan Peringatan Hari Santri Nasional 2025 yang digelar pada 11 Oktober 2025. Acara ini menjadi saksi bagaimana masyarakat Tegalombo menjadikan selawatan sebagai wujud ekspresi keagamaan sekaligus kebanggaan budaya lokal.

Pada hari itu, alun-alun kecamatan dipenuhi santri, tokoh agama, masyarakat, dan tamu undangan dari berbagai wilayah. Salah satu kehormatan besar dalam acara tersebut adalah hadirnya Komunitas Forum Kyai Kampung Pacitan, sebuah kelompok yang beranggotakan para kyai kampung yang memiliki otoritas moral kuat dalam masyarakat pedesaan.

Kehadiran mereka memberi legitimasi spiritual sekaligus memperlihatkan betapa pentingnya tradisi selawatan dalam lingkungan keagamaan Pacitan secara lebih luas. Para kyai kampung tersebut duduk di barisan khusus, menyimak dengan penuh khidmat lantunan shalawat yang dibawakan oleh kelompok-kelompok selawatan dari seluruh desa di Tegalombo.

Pada peringatan Hari Santri 2025 itu, pembacaan selawatan dibuka dengan tabuhan jedor besar yang menggemakan suasana ke seluruh alun-alun. Irama jedor yang berat dan dalam menandai dimulainya rangkaian acara sebelum disusul oleh rebana dan terbang yang mengiringi syair pertama yang dilantunkan dalam bahasa Jawa halus.

Syair yang dibawakan merupakan shalawat Jawa klasik yang biasa digunakan dalam acara-acara besar desa, dengan gaya tembang yang melengking lembut namun penuh kekuatan. Suasana berubah menjadi sangat syahdu ketika puluhan penabuh memainkan rebana dan terbang secara serempak, menciptakan harmoni ritmis yang memancing para hadirin untuk ikut bershalawat bersama. Keprak yang dimainkan pada setiap pergantian bait menambah aksen pada lantunan selawatan, menjadikannya lebih hidup dan memberikan nuansa upacara yang agung.

Di tengah lantunan selawatan tersebut, kehadiran para kyai kampung Pacitan memberikan kesan mendalam. Mereka tidak hanya datang sebagai tamu kehormatan, tetapi juga sebagai sosok yang meneguhkan hubungan spiritual antara masyarakat Tegalombo dan para ulama pedesaan Pacitan.

Forum Kyai Kampung Pacitan telah lama dikenal sebagai penjaga tradisi keislaman pedesaan yang sederhana namun penuh kedalaman. Keterlibatan mereka dalam kegiatan Hari Santri 2025 memperlihatkan bahwa selawatan bukan hanya tradisi lokal, tetapi bagian dari jaringan budaya keislaman yang lebih luas di wilayah Pacitan. Mereka memberikan doa, wejangan, serta dukungan untuk terus menjaga tradisi selawatan sebagai bagian dari identitas santri dan masyarakat desa.

Selama acara berlangsung, ribuan masyarakat Tegalombo berkumpul menyaksikan pertunjukan selawatan yang berlangsung bergiliran antar-desa. Setiap kelompok selawatan menampilkan gaya khas desanya masing-masing, tetapi semuanya tetap berpegang pada aturan dasar selawatan Jawa yang mengutamakan kekhidmatan, kesantunan vokal, serta irama tabuhan yang harmonis.

Suasana semakin hangat ketika syair-syair yang mengagungkan Nabi juga dibacakan dalam bahasa Jawa krama, yang mengandung makna filosofis mendalam sekaligus memperlihatkan kecermatan masyarakat Tegalombo dalam menjaga kesantunan berbahasa. Lantunan selawatan menjadi tanda bahwa masyarakat masih memiliki hubungan kuat dengan akar budaya mereka, meskipun modernisasi bergerak maju dengan cepat.

Selain itu, acara Hari Santri 2025 juga menjadi ruang pembelajaran bagi para santri muda. Mereka tidak hanya tampil sebagai pembaca selawatan, tetapi juga sebagai penabuh, pembawa acara, dan penggerak berbagai rangkaian kegiatan. Keterlibatan aktif santri muda menunjukkan bahwa tradisi selawatan tidak sedang menuju kepunahan, tetapi justru memasuki fase revitalisasi di mana generasi baru memegang peran penting dalam melestarikannya.

Beberapa santri yang hadir mengaku bangga dapat tampil di hadapan para kyai kampung Pacitan, karena momentum tersebut memberi pengakuan atas peran mereka dalam menjaga tradisi leluhur. Kegiatan ini menambah motivasi bagi santri agar tetap menjadi penjaga tradisi, bukan hanya sebagai pelajar agama di pesantren.

Kehadiran suara tabuhan rebana, terbang, jedor, dan keprak sepanjang acara menciptakan suasana yang bukan hanya religius tetapi juga menggembirakan. Bunyi tabuhan tradisional tersebut menggema hingga ke perkampungan sekitar, menandai bahwa sebuah perayaan besar sedang berlangsung dan masyarakat sedang bersatu dalam lantunan puji-pujian.

Tabuhan tidak hanya mengiringi selawatan, tetapi juga menjadi simbol dari kekuatan kolektif masyarakat Tegalombo. Alat-alat tabuh tradisional yang digunakan pada hari itu sebagian merupakan warisan turun-temurun yang telah puluhan tahun digunakan dalam berbagai acara keagamaan. Ada rebana tua yang kayunya sudah mulai menghitam karena usia, namun tetap menghasilkan bunyi yang merdu ketika dipukul oleh tangan-tangan terampil para penabuh yang telah berlatih sejak kecil.

Selama kegiatan berlangsung, para hadirin terlihat larut dalam suasana religius. Banyak yang mengikuti syair selawatan sembari menundukkan kepala, sementara yang lain mengangkat tangan perlahan sebagai tanda penghormatan kepada Nabi. Anak-anak duduk di pangkuan orang tua mereka, belajar mengenali irama dan syair selawatan.

Generasi tua duduk tenang sambil mengangguk mengikuti irama, seolah mengenang masa muda mereka ketika selawatan menjadi satu-satunya hiburan religius di desa. Pada saat-saat seperti itu, terlihat bahwa selawatan bukan sekadar seni pertunjukan tetapi juga tradisi pengikat batin yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan masyarakat Tegalombo.

Peringatan Hari Santri 2025 memberikan pesan kuat bahwa tradisi selawatan harus tetap dijaga karena ia adalah jembatan yang menghubungkan masyarakat dengan nilai-nilai keislaman dan kebudayaan lokal. Para kyai kampung yang hadir menegaskan bahwa selawatan bukan hanya warisan, tetapi juga alat pendidikan dan media dakwah yang efektif untuk membentuk karakter santri dan masyarakat.

Mereka menyampaikan bahwa menjaga tradisi berarti menjaga jatidiri, dan menjaga jatidiri berarti menghormati leluhur yang mewariskannya. Oleh sebab itu, selawatan harus terus diajarkan kepada generasi muda, bukan hanya agar mereka mampu membawakan syair-syairnya, tetapi agar mereka memahami nilai moral yang terkandung di dalamnya.

Di sisi lain, acara Hari Santri 2025 di Tegalombo juga menunjukkan bahwa tradisi lokal tetap dapat hidup berdampingan dengan perkembangan modern. Penggunaan pengeras suara, sistem pencahayaan modern, dan dokumentasi digital tidak mengurangi nilai sakral selawatan. Justru teknologi dijadikan sebagai sarana untuk memperluas jangkauan tradisi ini agar dapat dinikmati dan dipelajari oleh lebih banyak orang. Beberapa kelompok pemuda bahkan menyiarkan kegiatan selawatan tersebut melalui media sosial sebagai bentuk publikasi budaya lokal. Hal ini membuktikan bahwa tradisi tidak harus ditinggalkan ketika zaman berubah, tetapi dapat dikombinasikan dengan perkembangan teknologi asalkan tetap menjaga esensi dan nilai dasarnya.

Pada akhir acara, seluruh kelompok selawatan berkumpul untuk melantunkan satu shalawat bersama yang menjadi penutup kegiatan. Tabuhan rebana, terbang, jedor, dan keprak terdengar menyatu dalam harmoni besar yang memunculkan perasaan haru bagi banyak orang.

Terlihat beberapa warga meneteskan air mata karena merasa tersentuh oleh kesyahduan suasana. Para kyai kampung memberikan doa penutup yang memohon agar masyarakat Tegalombo selalu diberi petunjuk, dijauhkan dari perpecahan, dan terus diberi kekuatan untuk menjaga tradisi Islam yang penuh kedamaian. Dengan berakhirnya kegiatan tersebut, masyarakat pulang dengan perasaan bangga bahwa mereka telah menjadi bagian dari upaya besar untuk menjaga warisan budaya yang telah hidup selama ratusan tahun.

Acara Hari Santri Nasional 2025 di Tegalombo akhirnya menjadi bukti bahwa selawatan Jawa bukan hanya tradisi religius, tetapi juga kekuatan kultural yang mampu menyatukan masyarakat. Tradisi ini tidak hanya meneguhkan identitas keagamaan, tetapi juga identitas lokal yang menjadi kebanggaan masyarakat Pacitan.

Kehadiran Komunitas Forum Kyai Kampung Pacitan, tabuhan alat tradisional yang menggema, dan keterlibatan generasi muda menjadi simbol bahwa tradisi ini akan terus hidup di masa depan. Selawatan Jawa di Tegalombo akan tetap menjadi sumber inspirasi dan perjuangan budaya bagi masyarakat setempat, sebagaimana ia telah menjadi bagian dari kehidupan mereka sejak dahulu hingga kini.


Lebih baru Lebih lama