Kenangan Abadi: Sosok Ibu yang Tak Pernah Hilang dari Hati

Oleh: ARI SETYA PERTIWI / PBSI STKIP PGRI Pacitan

Ibu, kadang aku bertanya pada diri sendiri, mengapa kehilanganmu begitu menyakitkan. Aku merasakan setiap denyut jantungku memanggil namamu, tapi hanya kesunyian yang menjawabnya. Aku ingin memelukmu, tapi tanganku hanya menangkap udara kosong. Ada kalanya aku menangis diam-diam, berharap seseorang mengerti, berharap dunia memberiku sedikit alasan untuk tidak merasa kesepian dalam kesedihan ini tapi tidak ada yang datang.

 Aku merasa terjebak dalam hidupku, seolah aku harus menemukan jalan di dalam kegelapan tanpa kehadiran cahaya yang dulu kau berikan. Malam hari selalu mengingatkanku bahwa hidup tanpa Ibu sangat dingin. Aku terjaga di tengah malam, mendengar suara-suara yang biasanya biasa saja, tetapi kini terasa menyeramkan. Angin yang masuk melalui jendela, suara detak jam, bahkan napasku sendiri semua itu mengingatkanku bahwa kau sudah tiada. Aku ingin berteriak, memanggilmu, memohon agar kau kembali, tetapi lidahku terasa kaku. Hanya air mata yang mengalir, dan aku merasa kesepian tidak hanya secara fisik, tetapi juga di setiap sudut hatiku.

 Seiring waktu berlalu, rasa rindu ini tidak pernah berkurang. Setiap pagi aku bangun dengan harapan bahwa keadaan di dunia ini bisa berubah—bahwa Ibu masih ada di sampingku. Namun kenyataan kembali menghancurkanku, keras dan tanpa belas kasihan. Ada kemarahan yang muncul di dalam hati, bukan kepada Ibu, tetapi kepada kenyataan yang memisahkan kita. Aku merasa dikhianati oleh waktu, oleh takdir, oleh semua yang menghalangiku untuk memelukmu sekali lagi. Kemarahan itu bercampur dengan kesedihan, menciptakan campuran emosi yang sulit kuungkapkan kepada orang lain, membuat setiap detik terasa berat dan tak berujung.

 Siang hari, aku sering melihat anak-anak lain bersama ibu mereka, tertawa, dipeluk, dan dimanja. Rasanya dunia seperti berpesta di luar sana, sementara aku terperangkap dalam kenangan indah yang menyakitkan. Rindu ini bukan sekadar kenangan; itu menjadi rasa sakit yang menusuk di dadaku. Aku ingin merasakan pelukan itu lagi, sekali saja, tetapi itu mustahil. Memejamkan mata, aku membayangkan pelukan itu, dan sesaat aku bisa merasakannya hanya untuk menghilang dan meninggalkan kekosongan yang besar di dalam hati ini. Dalam kesendirian, aku mulai mempertanyakan diriku sendiri: apakah aku cukup kuat, apakah aku cukup tangguh, ataukah aku hanyalah bayangan anak yang tersesat tanpa bimbinganmu?

 Setiap pilihan yang kuambil sekarang terasa begitu berat. Aku selalu membayangkan Ibu di sisiku, memberi bimbingan, menawarkan saran, atau sekadar tersenyum dan berkata, "Kamu bisa, nak". Namun, aku hanya memiliki diriku sendiri. Kadang aku merasa tidak berhasil, seolah langkahku tidak pernah cukup baik, seolah aku tidak bisa memenuhi harapan yang dulu begitu mudah kuperoleh dari tatapan kasihmu. Aku berpikir sejenak, apakah Ibu akan bangga padaku? Apakah aku belum cukup untuk membanggakannya? Setiap pertanyaan itu terasa sangat menusuk, dan aku berjalan dengan hati yang berat, tetapi berusaha terus melangkah.

 Ada malam-malam ketika aku benar-benar merasa hancur. Aku terbaring di kamarku, mendongak ke langit-langit, membayangkan Ibu duduk di sampingku. Aku mengira mendengar suaranya yang menenangkan setiap bagian hatiku yang terluka. Aku membayangkan dia memegang tanganku, dan merasakan ketenangan yang hilang. Namun kenyataan selalu menghantamku.. Dia tidak ada. Tidak akan pernah kembali.

 Aku berteriak dalam hati, menentang dunia yang sangat kejam, yang mengambil orang yang paling aku cintai tanpa alasan. Rasa sakit ini begitu terasa sehingga terkadang aku bingung bagaimana cara menghadapinya, bagaimana tetap bernapas saat kesepian menggerogoti setiap sisi hatiku. Bahkan ketika aku mencoba tersenyum di siang hari, bayangan kehilanganmu selalu hadir, mengingatkan bahwa tidak ada yang bisa menggantikanmu.

 Ketika aku merasa lelah, ketika dunia terasa terlalu berat, aku berbicara kepada Ibu dalam hati. Aku bercerita tentang hari-hari sulit yang aku jalani, tentang rasa takut dan ragu yang terus muncul. Aku menceritakan kejatuhan dan keberhasilan, seolah ia bisa mendengar dari tempatnya. Dalam setiap kata yang aku ucapkan, aku merasakan sedikit kelegaan, sedikit ketenteraman, seolah Ibu dekat dan memelukku lagi, meski itu hanya dalam bayanganku. Aku sadar bahwa cinta seorang ibu begitu tulus, tidak tergantikan dan tidak memiliki batas, bahkan antara dunia ini dan kematian semua setara. Dalam bisikan yang tak terdengar, aku menemukan kekuatan untuk tetap bertahan.

 Terkadang aku menulis surat untuknya, menuangkan semua perasaanku di atas kertas, meskipun aku tahu ia tidak akan membacanya. Dengan menulis membuatku merasa dekat dengannya. Aku menulis tentang kerinduan yang mendalam, tentang air mata yang diam-diam jatuh, tentang ketakutan dan keberanian yang muncul dalam diri ini yang kini harus belajar hidup tanpa pelukan Ibu yang nyata. Surat-surat itu menjadi saksi bisu, mengingatkan bahwa meskipun ia sudah tiada, aku tidak pernah berhenti mencintainya.

 

Aku sering membayangkan bagaimana reaksi Ibu jika ia melihatku sekarang. Apakah ia akan merasa bangga atau justru kecewa? Pertanyaan itu terus menghantuiku, terutama ketika aku gagal atau berbuat salah. Rasa bersalah yang datang terasa begitu berat, karena aku tidak bisa lagi berbagi cerita, meminta saran, atau sekadar merasakan kelembutan tangan Ibu yang biasanya menenangkan. Aku harus menghadapi semuanya sendirian, walaupun terkadang aku merasa tidak mampu. Bahkan hal-hal kecil bisa terasa sangat berat saat Ibu sudah tiada.

 Setiap kali melihat anak-anak lain menghabiskan waktu bersama ibu mereka, hatiku terasa tertekan. Ada rasa cemburu yang sulit kuungkapkan, campur aduk dengan kerinduan yang mendalam. Aku merasa hidup ini sangat tidak adil; seolah-olah tidak sepatutnya orang yang selalu memberiku rasa aman diambil begitu saja. Aku ingin berteriak dan ingin melawan takdir, tetapi hanya bisa menahan diri, menundukkan kepala, dan menahan air mata yang ingin jatuh. Dalam hati kecilku aku terkadang bertanya kepada diri sendiri, mengapa takdirku begitu kejam? Mengapa aku harus kehilangan sosok yang begitu penting tanpa persiapan?

 Masih ada bagian diriku yang ingin mengulang waktu, kembali ke saat Ibu masih bersamaku. Aku sangat ingin merasakan sentuhannya, mendengar suaranya yang menenangkan, atau merasakan pelukan hangatnya yang membuat semuanya tampak lebih kecil. Namun realita selalu menghantui, dimana waktu tidak bisa diulang. Semua kenangan itu kini hanya tersisa, indah tapi menyakitkan, manis tapi menyisakan luka setiap kali teringat. Aku harus rela melepaskan hal-hal yang tak lagi bisa kumiliki, meskipun hatiku sangat mendambakannya. Namun, di sela luka itu aku mulai memahami bahwa kenangan itu sendiri menjadi penguat, pengingat bahwa cinta sejati tidak bisa hilang begitu saja.

 Kadang aku bertanya-tanya, kapankah lukaku akan sembuh Tuhan? Apakah suatu saat aku bisa berdiri tegak tanpa mengguncang rasa kehilangan yang mendalam? Atau apakah aku harus menemukan cara untuk bahagia di tengah puing-puing hatiku yang remuk? Pertanyaan ini tak memiliki jawaban yang pasti, dan mungkin memang seharusnya begitu. Aku hanya bisa melangkah perlahan, satu langkah demi satu langkah, membawa kenangan yang menyakitkan itu sebagai bagian dari diriku, sebagai pondasi kekuatan baru yang mungkin tidak terlihat oleh mata orang lain.

 Dan di tengah semua kesedihan ini, aku mulai menyadari satu hal yang penting. Meski Ibu telah tiada, ia tetap membentuk diriku yang sekarang. Ia hidup dalam kekuatanku, keberanianku, dan kemampuanku untuk bertahan meski dunia terasa kejam. Setiap langkah yang kuambil adalah bukti bahwa ia tidak pernah benar-benar pergi. Dan meski hatiku masih penuh dengan luka, aku tahu bahwa cinta yang ia berikan tetap menjadi cahaya penuntun, pelindung, dan alasan untuk terus bertahan hidup. Di setiap tarikan napas, aku bisa merasakan kehadirannya tidak dengan tubuh, tetapi dengan jiwa yang selalu menemani.

 Terkadang rasanya hidupku terjebak antara kenangan dan realita. Di satu sisi, aku ingin melihat dunia dengan penuh keberanian, seperti yang diajarkan Ibuku. Namun di sisi lain, setiap bagian dari rumah, setiap bau, dan setiap suara kecil mengingatkanku bahwa Ibuku sudah pergi. Rasanya seolah aku sedang berjalan di jalan yang panjang dan tak berujung, di mana bayangan Ibu selalu ada, tetapi tidak bisa kupegang. Hatiku merasa ingin melarikan diri, tapi aku harus terus melangkah meski tubuh dan jiwaku terasa berat. Di saat seperti ini, aku menemukan kesadaran bahwa keberanian bukan berarti tanpa takut, tetapi tetap melangkah meski hati bergetar.

 Ada kalanya aku menahan air mata di keramaian, berpura-pura kuat, meskipun setiap tawa yang kudengar melukai tanpa terlihat. Aku merindukan bimbingan Ibu saat aku jatuh, rindu mendengar kata-kata sederhana yang selalu menenangkan: "Dek, percaya sama ibu kalau semua akan baik-baik saja." Dulu, kata-kata itu terasa biasa, namun sekarang sudah menjadi kenangan berharga yang hanya dapat kuingat dan doakan. Kadang, aku berbicara pada ruang kosong, berharap bisa mendengar jawaban, berharap ada yang membimbingku seperti dulu.

 Aku sama sekali tidak menyangka bahwa kehilangan akan menjadi hal yang sangat besar dalam hidupku. Ketika Ibu masih ada, semuanya terasa hangat, nyaman, dan teratur. Namun setelah kepergiannya, segalanya hancur. Tidak ada lagi sosok yang bisa kuajak berbagi cerita sebelum tidur, atau menjadi tempatku bersandar ketika dunia terasa berisik untuk seorang anak. Aku sering berpikir, jika aku bisa memutar waktu, aku ingin memeluknya lebih lama pada hari terakhir aku melihatnya. Namun hidup tidak memberikan kesempatan kedua untuk hal-hal seperti itu. Aku belajar, bahwa waktu yang terus berjalan tidak menunggu siapapun, dan kesedihan harus diterima meski pahit.

 Aku masih sering merasa seperti ini hanya mimpi buruk yang tak berujung. Ada momen di mana aku terbangun dengan napas tersengal, lalu secara refleks memanggil “Bu!”—sebelum ingatanku kembali menghantamku, mengingatkanku pada kenyataan pahit yang sulit kuhadapi. Dan jahatnya, Ibu tidak akan pernah menjawabku lagi. Tidak hari ini. Tidak esok. Tidak selamanya. Namun di balik setiap detik kesepian itu, aku belajar menghargai setiap kenangan, karena di sanalah ia tetap hidup.

Kehilangan itu menghadirkan luka yang tidak terlihat. Orang bisa melihat air mataku, namun tidak ada yang benar-benar merasakan betapa sakitnya ketika hatiku terasa seperti kaca yang pecah setiap kali mendengar kata “ibu”. Semua orang berpikir waktu akan menyembuhkan segalanya, tetapi bagaimana waktu bisa menyembuhkan jika luka ini tetap menjadi bagian dari diriku? Aku merasa seperti berjalan sambil membawa beban yang tidak pernah bisa kulepaskan.

 Aku pernah mendengar bahwa dewasa itu berarti kita harus menghadapi kenyataan hidup tanpa bergantung pada orang lain. Namun bagi beberapa orang, menjadi dewasa datang bersamaan dengan kesedihan yang dalam. Aku mulai dewasa saat menyadari bahwa tidak semua doa akan terkabul, dan tidak semua orang yang kita cintai akan selalu ada. Menjadi dewasa juga berarti belajar menerima bahwa bahkan tempat yang paling aman dapat hilang dalam sekejap.

 Kehilangan mengajarkanku dua hal penting: Pertama, cinta tidak akan hilang meskipun orang yang kita cintai sudah pergi. Kedua, aku harus lebih menjaga diriku sendiri daripada sebelumnya karena tidak ada lagi yang melakukannya untukku. Pada akhirnya, menjadi dewasa bukan hanya soal bertambahnya usia. Namun, bagaimana kita bisa bangkit dari kesedihan, merawat hati yang hancur, dan terus melangkah meski terasa berat. Dan aku… aku masih terus belajar.

Ketika dunia terasa begitu kelam, aku merasakan kehangatan pelukanmu bercahaya. Pelukan itu, meski tidak terlihat, selalu melindungiku dari keinginan untuk menyerah. Dalam suara lembut yang hanya bisa dirasakan hati, seolah ia berkata, "Dek, tetap semangat ya. Ibu selalu di sampingmu." Suatu hari nanti, jika waktu memberiku kesempatan untuk menjadi seorang ibu, aku ingin mencintai anakku dengan sama besarnya seperti cinta yang kau berikan padaku. Menjadi tempat pulang seperti dulu kau jadi rumah bagiku. Memberikan pelukan yang memberi harapan agar mereka tetap bertahan, karena aku tahu betapa berharganya pelukan seorang ibu bagi banyak luka di dunia ini.

 Ibu, aku merindukanmu setiap hari tanpa henti—kerinduan yang menjadi alasan semangat sekaligus membawa rasa sakit yang mendalam. Namun di balik kerinduan yang tak kunjung reda ini, aku merasa beruntung bisa memiliki sosok sepertimu—seseorang yang telah meninggalkan jejak mendalam sehingga kepergianmu terasa sangat berarti. Walaupun fisikmu tidak ada lagi, kehangatan pelukanmu tidak akan pernah hilang. Ia terus hidup dalam kenangan, doa-doa, dan langkah-langkahku menghadapi hari. Cinta yang kau berikan menjadi dorongan bagiku untuk terus maju dan bertahan. Aku akan menjalani hidup ini dengan keyakinan bahwa kau selalu ada di sisiku; melindungiku dari jauh sambil tersenyum setiap kali aku berhasil melewati rintangan yang pernah kita hadapi bersama.

 Terima kasih atas semua yang Ibu berikan, untuk setiap pelukan hangat yang melindungiku dari kerasnya dunia. Untuk cinta yang tulus, tanpa mengharap imbalan. Untuk kehidupan yang kau berikan padaku. Kerinduanku padamu adalah bukti bahwa cinta kita selalu hidup, meskipun maut berusaha memisahkan. Dalam hatiku, pelukanmu akan selalu menjadi tempat paling nyaman—rumah yang akan terus kuusahakan untuk selalu ada dalam ingatan.

 Sampai jumpa di lain waktu, Ibu. Di tempat yang penuh kedamaian aku berjanji akan datang sebagai anak yang kuat, seperti yang kau inginkan. Dan saat itu tiba, biarkan aku memelukmu Kembali lebih erat, lebih lama, untuk setiap kerinduan yang selama ini terpendam dalam keheningan. Dan di sana, aku akan menangis sekaligus tersenyum, membiarkan semua rasa kehilangan berubah menjadi cahaya yang menuntunku pada harapan dan damai abadi, karena akhirnya aku tahu, cinta kita tidak pernah benar-benar pergi.

 “Aku menyayangimu… selamanya.” Bisikku pelan sambil menutup mata.


Lebih baru Lebih lama