Namun, sejarah mencatatnya bukan sekadar lewat tinta. Ia harus menghadapi pengkhianatan dan siksaan, hingga syahid di tangan kolonial. Jasadnya dibuang ke laut, namun namanya hidup abadi dalam wasiat yang diwariskannya, dikenal sebagai “Suluk Wasiyat Sekarbala”. Wasiat ini bukan hanya untuk anak keturunannya, tetapi untuk seluruh jiwa-jiwa yang masih "Jawi" — yang mengerti jalan ketauhidan dan keadilan.
Wasiat itu membawa pesan abadi: tentang kesetiaan pada nilai, keberanian menjemput panggilan ilahi, dan tentang hidup yang bukan sekadar bernafas, tetapi menjadi bagian dari perjuangan abadi melawan kebatilan. Mengutip bagian paling menusuk dari suluk itu:
“Luwih becik mati sajroning cahya, tinimbang urip nanging ana laladan suwêt.”
Dalam suluknya, ia menyebut seruan Imam Husain di Karbala, “Hal Min Nasirin Yanshuruni?”seruan yang menembus zaman. Bagi Mas Pajangswara, seruan itu bukan hanya milik abad ke-7, tetapi akan hadir dalam tiap zaman "kalabendu", zaman rusak nilai, di mana manusia terlena oleh harta dan jabatan.
Ia mengajak anak-anak Jawa yang sejati untuk tidak menjadi glagah rapuh di pinggir Karbala, tetapi menjadi bambu petung yang kokoh menghadang arus, yang memilih mati dalam cahaya kebenaran daripada hidup dalam keheningan ketakutan.
Dalam dunia yang kian gelap oleh manipulasi, kemunafikan, dan pengaburan makna, wasiat ini menjadi cermin:
Seperti ditulis dalam akhir suluknya:
"Allah iku siji, Muhammad iku utusane, Husain iku cahyane."