Topi ini bukan sekadar pelengkap seragam, tetapi simbol otoritas dan status seorang pemimpin desa di masa itu. Dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda, setiap kepala desa atau lurah diwajibkan mengenakan seragam putih-putih lengkap dengan topi laken — sebagai lambang kekuasaan dan legitimasi dari penguasa kolonial.
Tokoh yang mengenakan topi tersebut adalah Suradi Hardjo Sukarto, Lurah Desa Punung pada masa itu. Dikenal sebagai pemimpin yang karismatik, beliau menjalankan pemerintahan desa dengan pengaruh yang besar di tengah tekanan kolonialisme. Topi laken miliknya hingga kini masih terjaga keasliannya dan menjadi peninggalan sejarah yang sangat berharga.
Terbuat dari bahan plastik tebal berbentuk bulat, topi ini juga memiliki lubang-lubang kecil di sisi kiri dan kanan. Desain ini tidak hanya berfungsi secara estetis dan praktis, tetapi juga mengandung makna filosofis.
Bentuk topi yang bundar melambangkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki jiwa yang bersih dan utuh, menjadi pusat keteladanan bagi rakyatnya, dan mampu menyatukan bumi dan langit dalam keseimbangan kepemimpinan. Topi ini tidak sekadar simbol jabatan, melainkan manifestasi nilai-nilai kepemimpinan yang luhur.
Meski telah berusia lebih dari satu abad, topi laken ini masih utuh dan terawat, menjadi pengingat bagi generasi sekarang dan yang akan datang tentang sistem sosial-politik pada masa lalu, serta pentingnya nilai-nilai kepemimpinan yang bijaksana.
Mugio Gusti Allah paring berkahipun teng engsun, keluarga, rakyat, lan para penerusipun Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, bumi langit sak isinipun.
Sebuah doa yang mengiringi keberadaan situs ini, agar bukan hanya menjadi artefak sejarah, tetapi juga sumber pelajaran spiritual dan moral bagi generasi penerus bangsa.
Penulis: Amat Taufan