Sasmito Langit dan Jalan Pulang Manusia

PACITAN TERKINI - Di tengah hiruk-pikuk pasar kehidupan, ada sosok yang memilih mlaku—berjalan—dengan tenang, meski dikelilingi keramaian yang bising oleh ambisi duniawi. Ia melangkah penuh kesendirian, bukan karena terasing, melainkan karena sadar arah. Inilah yang disebut sebagai “Sasmito Langit”, isyarat dari langit bagi mereka yang masih mau menundukkan hati.

Zaman akhir adalah masa ketika manusia berlomba-lomba mengejar popularitas, membangun pencitraan, berebut kekuasaan, dan menumpuk harta benda. Segalanya tampak gemerlap, seolah menjadi ukuran keberhasilan dan kebahagiaan. Namun di balik gemerlap itu, banyak jiwa yang justru kehilangan ketenangan. Hidup terasa sesak, hati gelisah, dan langkah tak pernah benar-benar sampai.

Manusia yang hanya mengejar pengakuan dunia akan selalu haus, karena dunia tak pernah memberi kata “cukup”. Ketika satu tujuan tercapai, tujuan lain segera menunggu. Ambisi menjadi candu, pujian menjadi kebutuhan, dan kekuasaan menjadi obsesi. Di situlah kegelisahan bersemayam—hidup penuh, tetapi hati kosong.

“Sasmito Langit” hadir sebagai pengingat: bahwa semua yang ada di dunia ini bukan milik manusia sepenuhnya. Ada Yang Maha Mengatur, Maha Memiliki, dan Maha Menentukan—Allah SWT. Kekuasaan, harta, jabatan, bahkan nama baik hanyalah titipan. Ketika titipan itu disadari sebagai milik Allah, manusia tak lagi terbebani untuk mempertahankannya dengan cara-cara yang menyesakkan nurani.

Mengembalikan segalanya kepada Allah SWT adalah jalan pembebasan. Di sanalah hati menjadi ringan, langkah menjadi jujur, dan hidup menemukan maknanya. Sifat-sifat langit—tawadhu, ikhlas, sabar, dan syukur—tumbuh menggantikan kesombongan, riya, dan takabur yang kerap menyelinap tanpa disadari.

Berjalan sendiri dalam makna “Sasmito Langit” bukan berarti menjauh dari dunia, melainkan tidak larut dalam kepalsuannya. Tetap bekerja, tetap berperan, tetap hadir di tengah masyarakat, namun hati tertambat kuat pada langit. Dunia digenggam secukupnya, akhirat dirawat sepenuh jiwa.

Di tengah ramainya pasar kedunyan, tidak semua orang berani memilih jalan sunyi. Tetapi merekalah yang kelak menemukan ketenangan sejati. Sebab hidup yang benar bukan tentang siapa yang paling terlihat, melainkan siapa yang paling dekat dengan Sang Pemilik Kehidupan.

Penulis: Amat Taufan

Lebih baru Lebih lama