PACITAN || Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, alunan melodi yang indah masih dapat menyentuh telinga dan membawa ketenangan serta keceriaan. Melodi ini berasal dari tangan mungil seorang bocah berbakat yang memainkan alat musiknya dengan penuh penghayatan.
Bakat bocah ini seperti mutiara terpendam yang bersinar sejak usia dini. Seolah-olah musik mengalir dalam darahnya, mengantarkannya ke dunia seni yang penuh warna. Dengan alunan nada, ia menuangkan ekspresi dan jiwanya, menyentuh hati setiap pendengar.
Kisah bocah berbakat ini bukan hanya tentang keindahan melodi, tetapi juga tentang kegigihan dan semangat pantang menyerah. Di balik musik yang memukau, ada dedikasi dan kerja keras yang terukir dalam mengasah bakatnya. Perjalanannya tidak selalu mulus, namun setiap rintangan dihadapi dengan tekad baja dan semangat membara.
Bima Bakti Prasetyo, bocah asal Jatigunung, Tulakan, Pacitan, lahir 15 tahun yang lalu pada 10 Juni 2009, kini tinggal di Dusun Plapar 2, Desa Jatigunung, Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan. Sebagai anak pertama dari dua bersaudara, buah hati dari pasangan Purwanto dan Ana Rofingatun Zuhriyah ini sudah menunjukkan ketertarikan pada seni sejak kecil.
Baginya, kesenian adalah salah satu elemen penting dalam budaya manusia, mencakup berbagai bentuk seperti tari, musik, lukisan, patung, dan teater. Kesenian tidak hanya menghadirkan keindahan tetapi juga makna, nilai-nilai, dan pesan yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Salah satu kesenian yang menarik bagi Bima adalah Campursari, sebuah genre musik yang memadukan unsur tradisional Jawa dengan dangdut modern.
Ibu Ana, ibu dari Bima, menceritakan dengan penuh semangat tentang awal mula ketertarikan Bima pada seni musik, terutama dalam memainkan kendang. “Awalnya, Bima hanya mengganggu kakeknya yang sedang bermain kendang. Dari situ muncul ketertarikan untuk memainkan kendang meskipun awalnya hanya ditabuh sebisanya,” ujar Ibu Ana. Bima mulai belajar kendang sejak usia TK, tepatnya saat berumur 6 tahun, melalui YouTube sambil didampingi oleh kakeknya.
Bima melampaui batas belajar tradisional dengan memanfaatkan teknologi, menjelajahi dunia kendang melalui platform YouTube, di mana ia terpesona oleh permainan para maestro ternama. Ketertarikan Bima pada kendang bukan sekadar hobi, tetapi hasrat yang membara. Dia rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk berlatih, meniru suara-suara kendang dari lagu favoritnya, dan bereksperimen dengan berbagai teknik pukulan.
Peran tukang kendang dalam Campursari sangat penting karena mereka bertanggung jawab atas tempo dan irama musik, menciptakan dinamika musik, dan berinteraksi dengan penyanyi untuk membawa pendengar pada perjalanan emosional. Tukang kendang juga menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk mempelajari dan melestarikan budaya Jawa.
Selain belajar secara mandiri, Bima juga sering mengikuti lomba seni di sekolahnya, yang membantu meningkatkan rasa percaya diri dan memperkaya teknik bermainnya. Pertemuan dengan Siwi Dwi Margono, seorang tukang kendang dari Pacitan, menjadi titik penting dalam perjalanan Bima. Siwi mengajaknya bergabung dengan grup musik SANGKARA, di mana Bima mulai tampil di berbagai acara dan mendapatkan pengalaman berharga di dunia musik profesional.
Bima tidak hanya piawai dalam memainkan kendang, tetapi juga memiliki bakat dalam pantomim dan musik tradisi. Kini, sebagai siswa kelas 2 SMP, ia terus berlatih dengan tekun dan semangat, sering diundang untuk tampil di berbagai acara, dan mendapatkan banyak pujian. Kisah Bima mengingatkan kita bahwa setiap anak memiliki potensi luar biasa yang menanti untuk digali.
Dukungan dan bimbingan yang tepat dapat mengantarkan mereka meraih mimpi dan menjadi bintang di bidangnya. Perjalanan Bima adalah bukti bahwa bakat dan kerja keras dapat mengantarkan seseorang pada puncak kesuksesan, menginspirasi generasi muda untuk terus berkarya dan mengejar mimpi mereka.
Penulis: Febriani C-PBSI STKIP PGRI Pacitan