Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum |
Oleh: Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret.
Anggota Dewan Pakar Sekretariat Nasional Wayang Indonesia, Jakarta
Bangsa Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam dan kebudayaan ini sebenarnya mempunyai nilai yang sangat tinggi yang bila dibandingkan dengan bangsa asing sebenarnya tidaklah kalah. Sebagai misal kita memiliki gamelan yang gamelan itu secara internasional diakui sebagai ensamble musik tradisional paling canggih di dunia.
Atau kita juga memiliki misalnya, pertunjukan wayang yang merupakan pertunjukan boneka yang melibatkan berbagai jenis seni sekaligus seperti musik seni rupa teater sehingga menghasilkan suatu seni yang yang luar biasa. Pertunjukan wayang Jawa adalah pertunjukan wayang paling rumit di antara jenis-jenis di dunia.
Belum lagi wayang unik yang disebut wayang beber yang artefaknya masih tersimpan dengan baik di Kabupaten Pacitan. Hal ini menunjukan bahwa aneka jenis wayang itu memang eksis di masanya sebagai aktivitas budaya yang hidup. Sayang dewasa ini banyak anggapan bahwa kebudayaan kita itu dianggap kolot, kurang bernilai, susah, cermin ketinggalan zaman dan atribut-atribut lain yang kurang menyenangkan. Hal ini yang perlu diungkap dan disadarkan bahwa kebudayaan kita tidaklah dalam kondisi seperti itu. Generasi muda perlu memahami kebudayaan kita ini dalam rangka menyongsong zaman modern.
Pertanyaannya, zaman modern di song-song dengan kebudayaan tradisional?
Kita akui bahwa di dalam bidang ilmu dan teknologi bangsa kita sebenarnya akan kalah dengan bangsa-bangsa yang sudah maju di bidang itu. Sebagai contoh, bagi Cina dan Korea Selatan misalnya, pabrik HP sudah menjadi bagian dari pabrik rumahan sementara di Indonesia barang seperti HP ini adalah barang yang gampang kita cari tetapi kita belum bisa memproduksi sendiri. Saat ini kita masih menjadi pangsa pasar. Namun demikian, kita dapat manfaatkan HP yang diproduksi negara lain kita beri konten-konten budaya kita. Maka hal itu akan memunculkan ciri khas kita sebagai bangsa yang memiliki kreatifitas memanfaatkan budaya kita dalam peri kehidupan sehari-hari.
Dalam kehidupan berbangsa dan benegara, kita memang harus selalu kreatif dalam beberapa keterbatasan. Kita bisa belajar dari tetangga kita Singapura. Negara kecil ini adalah negara yang terbatas sumber daya alam dan lahan. Namun, berkat keuletan dan kreatifitasnya, Singapura dapat menjadi negara yang makmur. Padahal berbagai sumber daya alam yang mereka butuhkan ada yang berasal dari Indonesia.
Apabila kita berbicara tentang bahasa, misalnya saja berbicara tentang bahasa Jawa pada umumnya generasi muda sekarang menganggap bahasa Jawa adalah bahasa yang sangat sulit. Namun hal ini sangat kontradiktif dengan kenyataan, generasi muda sekarang menyenangi film-film bahasa Korea yang bahasa tersebut kemungkinan sedikit sekali mereka pahami. Kita tidak tahu tentang tata nilai kehidupan orang-orang korea misalnya. Sementara di dalam bahasa Jawa tersimpan tata nilai yang yang sangat patut kita hargai seperti penghormatan terhadap orang tua, perilaku sopan santun, dan tindakan-tindakan yang harus dihindari.
Kekayaan budaya berupa bahasa ini bisa kita gali sebagai bahan inspirasi seperti dalam penciptaan cerita, penciptaan lagu, penciptaan istilah-istilah yang sesuai dengan karakter kita sebagai bangsa. Sebagai misal dalam pemilihan putra-putri kecantikan kita memiliki istilah putri Solo, istilah-istilah dalam motif batik seperti parang, sekar jagad, sida mukti, dan lain-lain. Bahasa juga dapat dijadikan sebagai inspirasi komonitas seperti CAH SOLO, wong Solo, mirip misalnya dengan ada istilah arek Surabaya, dan sebagainya. Bahasa merupakan sumber inspirasi yang tidak ada habis-habisnya di dalam kita mengembangkan kebudayaan kita sendiri. Karena itu, kita wajib mencoba menggunakan bahasa kita. Mungkin, di sekolah-sekolah perlu ada hari bahasa Jawa yang digunakan oleh guru dan siswanya. Tidak harus bahasa krama, bahasa ngoko pun sebenarnya juga merupakan bentuk ekspresi kebahasaan yang bisa digunakan.
Ada kekayaan lain yang dimilik bangsa kita. Di museum Radya Pustaka, Solo ada candik perahu bernama Rajamala. Benda budaya tersebut mungkin kelihatannya menyeramkan, tetapi benda itu bisa diangkat menjadi ciri khas kota Solo. Misalnya menjadi gambar kaos gantungan kunci dan sebagainya dan tentu saja didukung dengan narasi sehingga bisa menjadi viral. Rajamala adalah penyakit dari durgandini yang kemudian menjadi manusia.
Seandainya suatu saat Bengawan Solo dihidupkan kembali sebagai sungai untuk pelayaran atau wisata maka candik atau kepala kapal Rajamala bisa juga menjadi inspirasi nama kapal atau kepala kapal. Cerita tentang Rajamala juga menunjukkan kreativitas orang Jawa. Cerita ini di Mahabharata tidak ada. Durgandini yang disembuhkan oleh Santanu kemudian penyakitnya rontok dan menjelma menjadi manusia yang bernama Rajamala yang kemudian diangkat menjadi di salah satu abdi di Hastinapura.
Rajamala ini kemudian menjadi salah satu ciri khas kepala kapal Solo pada masa lampau. Ini mirip dengan ciri khas kapal China yang berkepala naga. Banyak kekayaan budaya yan g dapat kita olah secara kreatif di antaranya lagu-lagu daerah, jenis permainan anak-anak, wayang, kuliner, tata cara kehidupan, dan sebagainya.
Dalam beberapa hal sesuatu yang kita anggap biasa atau kumuh ternyata bisa memiliki daya tarik tersendiri. Tata cara kehidupan di desa menjadi pariwisata. Kehidupan didesa jauh dari hiruk pikuk bisa menjadi objek atraksi wisata. Di Thailand sampai ada hotel yang memiliki karyawan kerbau yang digunakan untuk membajak sekitar hotel sebagai pertunjukan wisata. Negeri jiran ini memiliki atraksi wisaya unik, rel kereta api aktif yang menjadi pasar tradisional. Setiap kali kereta lewat orang-orang harus minggir.
Kuliner kita mungkin akan menjadi kuliner yang unik. Makanan bisa jadi festival makanan. Indonesia adalah negeri soto, negeri kerupuk negeri tempe dan makanan tradisional dari ketela, garut, ubi, gadung, negeri jenang,gembili, sate ular kobra, dan sebagainya.
Tradisi ruwatan Jawa ternyata ada sementara orang asing yang tertarik untuk ikut diruwat. Dewasa ini tradisi tersebut menjadi kegiatan rutin lembaga pemerintah seperti Pemkab Bojongera, Solo, Yogya, dan lembaga seperti RRI dan ISI Surakarta.