Pacitan – Di balik julukan "Pacitan Kota Misteri", tersimpan warisan budaya dan teknologi lokal yang tak banyak dikenal publik, salah satunya adalah lonceng kayu sapi pedati atau masyarakat setempat menyebutnya "citus".
Benda ini diyakini berasal dari abad ke-5 Masehi, masa ketika kerajaan tertua di wilayah Pacitan berdiri di sekitar kawasan Bomo, dengan rajanya Brahma, seorang penganut ajaran Buddha. Pada masa itu, sapi bukan hanya sekadar hewan ternak, tetapi menjadi bagian penting dalam aktivitas pertanian dan transportasi masyarakat.
Sapi-sapi pilihan yang digunakan untuk menarik pedati—kereta barang dan orang—diberi kalung lonceng istimewa yang terbuat dari kayu jati. Lonceng ini dirancang dalam bentuk setengah lingkaran, berukuran sekitar 30–40 cm, dengan rongga dan anak lonceng dari bahan yang sama, menghasilkan bunyi ritmis "klutuk-klutuk" saat gerobak berjalan menyusuri jalan-jalan desa.
Bunyi tersebut bukan sekadar penanda keberadaan pedati, namun juga menjadi elemen penting dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat kala itu. Dalam filosofi lokal, suara dari lonceng kayu mencerminkan pentingnya makna dalam kehidupan—bahwa setiap peristiwa, setiap gerak, membawa bunyi yang memiliki nilai dan warna dalam perjalanan hidup manusia.
Seiring waktu, citus mulai tergantikan oleh lonceng logam seperti tembaga, dan akhirnya hilang dari kehidupan sehari-hari saat transportasi bergeser ke mesin modern di abad ke-21. Namun jejaknya tetap hidup sebagai simbol kecerdikan teknologi lokal dan kedalaman filosofi masyarakat kuno.
Bagi sebagian warga Pacitan, citus bukan hanya benda sejarah, tapi juga bentuk doa agar nilai-nilai masa lalu terus memberi makna di tengah modernisasi. “Mugio Gusti Allah SWT paring berkahipun teng Engsun; keluarga; rakyat lan penerusipun Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah; bumi langit sak isiné,” demikian harapan yang disematkan melalui perenungan atas warisan budaya ini.
Penulis: Amat Taufan