Burung Jatayu: Warisan Sejarah dan Filosofi dari Pacitan

PACITAN MISTERI || BISMILLAH.  Salam Literasi Sejarah! Mari kita eksplorasi "Pacitan Kota Misteri" dan temukan keunikan dari "Citus Burung Jatayu".

Pada abad ke-19 M, seorang seniman asal Desa Mlati, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, menemukan sebuah tunggak pohon jati di hutan Gunung Nogo (Sedayu, Arjosari, Pacitan). 

Hutan tersebut dikenal sebagai tempat yang angker dan merupakan lokasi makam alim ulama serta pasukan berkuda dari Kasultanan Demak Bintoro yang datang ke Pacitan pada abad ke-13-14 M untuk menyebarkan agama Islam ke Kerajaan Wiranti/Kalak (Donorojo, Pacitan).

Seniman tersebut mengalami kesulitan dalam membentuk bonggol jati menjadi sebuah karya seni yang istimewa. Namun, dengan isyaroh yang diterimanya, ia berhasil membentuk bonggol jati tersebut menjadi sebuah patung burung Jatayu, yang merupakan maha karya Jawa kuno. Patung ini mengandung filosofi dari masyarakat Jawa kuno sebelum agama Islam dikenal di Pulau Jawa.

Patung Burung Jatayu ini dipahat dengan cermat, mengacu pada kepercayaan dan paham masyarakat Jawa kuno. Patung tersebut tidak menambahkan bahan kayu tambahan, melainkan memanfaatkan bentuk asli bonggol jati. 

Makna yang tersirat dalam patung ini adalah bahwa manusia yang sempurna, dengan kesaktian atau ilmu, yang dilambangkan dengan "Keris," dan dengan hati yang suci, yang diwakili oleh "air dalam cupu/guci," akan mampu menghadap Sang Pencipta Alam Semesta (Tuhan Yang Maha Esa) dengan menaiki burung bersayap dua. Burung ini melambangkan penghubung antara bumi dan langit.

Kepercayaan masyarakat Jawa kuno menyatakan bahwa akan ada manusia sempurna di masa depan yang akan menuntun umat manusia menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini tercermin dalam bentuk simbolik dan lambang dunia. Seiring perkembangan sejarah, Indonesia memilih Burung Jatayu/Garuda sebagai lambang negara (NKRI). Semoga berkah dari Tuhan Yang Maha Esa senantiasa menyertai kita semua.

Pewarta: Amat Taufan

 

Lebih baru Lebih lama