PACITAN TERKINI || Dalam catatan sejarah Pacitan, khususnya di Desa se-Kecamatan Nawangan, terdapat kisah menarik mengenai tanaman kopi Liberica yang berkembang pesat pada abad ke-17 hingga ke-18 Masehi. Pada masa itu, Kadipaten Pacitan berada di bawah kekuasaan Belanda, dipimpin oleh Kanjeng Eyang Joyoniman, juga dikenal sebagai Kanjeng Jimat. Dalam upaya memenuhi kebijakan Culture Stelsel yang mewajibkan pribumi menanam komoditas untuk dijual ke Eropa, tanaman kopi Liberica menjadi salah satu komoditas utama yang diperintahkan untuk ditanam.
Setiap rumah diwajibkan untuk menanam kopi sebanyak mungkin di lahan pribadi mereka, sebagai bagian dari kebijakan tersebut. Kanjeng Jimat memerintahkan para demang di Pacitan untuk memenuhi kebutuhan dagang penjajah Belanda. Salah satu wilayah yang berhasil mengembangkan kopi ini adalah Nawangan, yang memiliki iklim dan kondisi geografi yang ideal untuk tanaman kopi.
Di bawah pengawasan Belanda, sebagian besar lahan di Nawangan dikuasai untuk dijadikan perkebunan kopi, menghasilkan kopi yang melimpah dan diekspor ke Eropa. Kopi Liberica terkenal dengan kulit buah yang tebal, biji kecil, serta aroma khas dan rasa yang sangat pahit, sehingga sangat diminati di Eropa pada masa itu. Pohon kopi ini, yang ditanam sejak zaman penjajahan, masih dapat ditemukan hingga kini dengan ukuran batang yang mencapai 50-60 cm dan tinggi pohon 2-3 meter.
Setelah Indonesia merdeka pada abad ke-19, semua tanah perkebunan milik Belanda dinasionalisasi, dan PTP (Perusahaan BUMN) dibentuk untuk menangani perkebunan kopi tersebut. Meskipun PTP akhirnya dibubarkan, lahan perkebunan diserahkan kepada rakyat dan terus digunakan untuk menanam kopi hingga saat ini. Upaya pelestarian kopi Liberica yang dimulai pada masa penjajahan Belanda kini masih dilanjutkan dengan sistem "Sambung Pucuk", memastikan bahwa jenis kopi ini tetap lestari.
Penulis: Amat Taufan