Prof. Bani Sudardi |
Oleh: Prof. Bani
Sudardi
Guru
Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret
Dewan
Pakar SENAWANGI Jakarta
PACITAN TERKINI - Pada bulan Maret 2025, umat Islam akan menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan 1446 Hijriyah. Dalam ajaran Islam, puasa merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan tujuan meningkatkan ketakwaan kepada-Nya. Puasa Ramadan tidak dimaksudkan untuk memperoleh kesaktian atau mendapatkan pusaka-pusaka tertentu, melainkan sebagai ibadah yang utama, meliputi menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri.
Selain itu, selama berpuasa, umat Islam juga dianjurkan untuk menghindari perilaku negatif seperti mengumpat, marah, atau bertengkar. Mereka juga didorong untuk memperbanyak dzikir, memohon ampun kepada Allah, melaksanakan salat tarawih di malam hari, membaca Al-Qur’an, serta berbagi dengan kaum fakir dan miskin. Salah satu amalan utama di bulan puasa adalah memberikan makanan untuk berbuka. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa siapa pun yang memberi makan orang yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala yang sama tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut.
Dalam sejarah Islam di Nusantara, wayang digunakan sebagai media dakwah oleh para mubaligh atau wali. Wali Sanga mengadaptasi unsur-unsur wayang yang sebelumnya bercorak Hindu dengan menambahkan nuansa Islam, sehingga pementasan wayang menjadi sarana penyebaran ajaran Islam. Salah satu inovasi yang dilakukan adalah menetapkan waktu pementasan setelah salat Isya dan sebelum Subuh.
Perubahan lain yang dilakukan para wali terhadap cerita wayang adalah penyesuaian nilai spiritualnya. Misalnya, dewa tertinggi dalam pewayangan, Sang Hyang Siwa, disamakan kedudukannya dengan Semar, yang dianggap lebih tua dan lebih sakti dari para dewa. Semar dan para dewa dalam versi Islamisasi pewayangan juga disebut sebagai keturunan Nabi Adam, bukan sebagai penguasa alam semesta.
Para Pandawa dalam kisah Mahabharata juga diberikan makna baru sebagai simbol rukun Islam. Yudistira dikaitkan dengan rukun Islam pertama, yakni syahadat, karena memiliki kitab pusaka bernama Jamus Kalimosodo. Bima melambangkan rukun Islam kedua, yaitu salat, karena selalu berdiri tegak, mencerminkan perintah "aqimu shalat" yang berarti "dirikanlah salat."
Arjuna melambangkan rukun Islam ketiga, yakni puasa, karena dikenal sebagai tokoh yang kuat dalam bertapa. Ia juga memiliki nama lain, Janaka, yang berasal dari kata Arab "Janatuka" yang berarti "Surgamu," menunjukkan bahwa orang yang berpuasa akan mendapatkan pahala berupa surga.
Dalam pewayangan, tidak terdapat konsep puasa secara langsung, tetapi terdapat gambaran tentang pertapaan. Puasa dan bertapa memiliki kesamaan dalam hal mengendalikan hawa nafsu serta menahan diri dari makan dan minum. Seorang pertapa juga biasanya menjalani hidup sederhana dan tinggal di hutan untuk mencari pencerahan.
Salah satu bentuk pertapaan yang terkenal dalam pewayangan adalah "tapa ngrame," yaitu pertapaan sambil tetap beraktivitas sosial dengan menolong sesama demi mencapai tujuan spiritual tertentu. Contohnya adalah kisah Dewi Setiawati atau Durgandini dalam Adiparwa. Ia melakukan tapa ngrame dengan menjadi tukang sampan untuk membantu orang menyeberangi Sungai Gangga, dengan harapan penyakit bau busuk yang dideritanya bisa sembuh. Berkat usahanya, ia bertemu Raja Santanu dari Hastinapura, penyakitnya sembuh, dan akhirnya menjadi permaisuri.
Pertapaan yang paling terkenal dalam pewayangan adalah pertapaan Arjuna. Kisah ini merupakan cerita carangan yang dikembangkan di Jawa dan menjadi sangat populer karena dikaitkan dengan konsep legitimasi kekuasaan seorang raja. Beberapa lakon yang mengangkat kisah pertapaan Arjuna antara lain Mintaraga, Arjunawiwaha, Bagawan Ciptoning, dan Niwatakaca Lena.
Di India, kisah ini tidak terlalu dominan, tetapi di Jawa sangat disukai karena erat kaitannya dengan budaya bertapa yang dipercaya dapat mendatangkan berkah dan peningkatan derajat. Masyarakat Jawa meyakini bahwa seseorang yang bertapa dengan sungguh-sungguh akan mendapatkan anugerah berupa kekuatan atau pencapaian tertentu.
Kisah Arjunawiwaha juga berkaitan dengan perjalanan Prabu Airlangga dari Kerajaan Medang. Setelah kerajaannya dihancurkan musuh, Airlangga melakukan pertapaan di hutan bersama para resi. Hal ini disamakan dengan Arjuna yang bertapa untuk mendapatkan panah sakti Pasopati guna memenangkan perang Mahabharata.
Tradisi bertapa juga ditemukan dalam sejarah awal Islam di Nusantara, seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Geseng. Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang menjalani pertapaan di sungai, sehingga dijuluki "penjaga kali." Sedangkan Sunan Geseng bertapa di dalam hutan, dan ketika Sunan Kalijaga membakar hutan tersebut untuk mencarinya, Sunan Geseng ditemukan selamat, meskipun tubuhnya menjadi hitam seperti gosong.
Demikianlah uraian mengenai keterkaitan puasa dengan dunia pewayangan. Kajian ini masih bersifat eksploratif dan terbuka untuk dikritisi. Semoga bermanfaat, dan bagi yang menjalankan ibadah puasa, selamat menunaikannya dengan penuh keberkahan.