Lingkungan Literasi Sastra dalam Jejaring Sosial: Media Transformasi Sosial dan Budaya

 

Dr. Sigit Zulianto, M.Pd.

Oleh:  Dr. Sugit Zulianto, M.Pd (*)

(*) Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP dan Peer Group Pusat Unggulan Ipteks (PUI) Javanologi, UNS

Sastra merupakan bagian budaya yang tergantung pada pengguna suatu bahasa. Eksistensinya ditentukan oleh kreativitas atau produktivitas penyair yang mengutamakan atau memadukan beragam bahasa. Sejak munculnya sastra lama hingga modern, kebermaknaan sastra dipengaruhi oleh dinamika sosial masyarakat.

Dalam hal ini, karya sastra akan statis bila tanpa apresiasi oleh masyarakat. Sebab itu, melalui model jejaring sosial (MJS), sastra akan tumbuh dan terkembangkan menjadi perekat sosial antarwarga bangsa dan antarwarga negara yang bermartabat. Pada konteks itu, model MJS perlu dioptimalkan agar terbangun lingkungan literasi sastra (LLS) di tengah kehidupan masyarakat modern.

Wujud LLS akan bertumbuh kembang bila terdukung oleh MJS yang dinamis. Pada era modern, MJS merupakan suatu relasi antarindividu atau antarkelompok yang terhubung melalui jaringan pertemanan, kekeluargaan, atau kelompok profesional. Di dalamnya akan terjadi interaksi untuk saling memahami informasi atau ide kesastraan.

Sebagai contoh, MJS pertemanan terdiri atas individu yang saling interaktif; MJS profesional (terdiri atas individu yang bekerjasama dalam suatu bidang; MJS dalam Facebook, Twitter, atau Instagram akan menghubungkan beragam latar individu untuk berbagi informasi. Agar karya sastra makin berkembang, anggota MJS perlu dioptimalkan untuk turut mengapresiasinya.

Sebagai gambaran, anggota MJS mengembangkan literasi sastra yang sesuai dengan minatnya. Ketika MJS beranggotakan remaja, LLS yang dibangun dan direspon berkenaan dengan generasi muda. Dalam hal ini, mungkin terjadi aktivitas literasi sastra tentang membangun masa depan, mengendalikan romantisme, atau kisah-kasih generasi muda.

Senada dengan itu, ketika MJS beranggotakan orang tua, LLS yang terbangun boleh jadi berkarya tentang sastra religi, sosial-politik, dan regenerasi yang lebih baik. Dengan begitu, jangkauan LLS tidak terikat oleh kedaerahan atau etnis tertentu. Mungkin saja, anggota MJS berasal dari beragam budaya dan daerah di Indonesia.

Dalam LLS yang kondusif, anggota MJS yang beragam latar belakang memperoleh multinilai. Melalui pementasan drama religi, anggota MJS memperoleh contoh pertaubatan seorang tokoh dalam pementasan. Selain itu, anggota MJS dapat menikmati pesan moral yang diekspresikan oleh sang deklamator tentang kemandirian dan kebersamaan.

Khusus bagi anggota MJS yang berusia muda, mereka dapat memetik keteladanan untuk menanamkan dan meningkatkan rasa nasionalisme melalui cerpen dan/atau novel yang diapresiasi oleh kelompoknya. Dengan kata lain, apapun entitas sastra yang menjadi perbincangan dalam LLS akan berdampak pada mentalitas setiap anggota dalam MJS yang diikutinya.

Akhirnya, perlu digarisbawahi bahwa MJS dapat membangun LLS yang berdampak pada perubahan perilaku lahir dan perbaikan mental masyarakat tanpa membedakan asal usul latar belakang keanggotaan masing-masing. Dalam hal ini, nilai moral yang dapat ditanamkan dalam diri anggota MJS, yaitu kesadaran akan keadilan, keyakinan akan kebenaran, kebencian pada kebohongan, kerelaan pada pengorbanan, keengganan egois, kebebasan yang bertanggung jawab, kesiapan mental kemandirian, dan kesadaran untuk berperan sosial.

Nilai-nilai moral itu mudah tertanam dalam mental anggota MJS karena ditampilkan dalam karya sastra yang tersebar dalam LLS tanpa pemaksaan untuk menerima atau menolaknya.

Lebih baru Lebih lama