PACITAN TERKINI - Pada zaman dahulu, di sebuah desa bernama Sungkur yang terletak di wilayah Badegan, Ponorogo, hiduplah seorang pemuda bernama Mbah Wagar. Ia adalah putra Kepala Desa yang dikenal bijaksana dan sangat mencintai rakyatnya. Saat itu, warga Sungkur tengah membangun bendungan besar (dam) untuk mengalirkan air ke sawah-sawah, namun pembangunan itu selalu gagal. Menurut kepercayaan masyarakat kala itu, pembangunan bendungan hanya bisa berhasil apabila ada tumbal manusia sebagai persembahan penolak bala.
Sebagai anak seorang pemimpin desa, Mbah Wagar dengan ikhlas menawarkan diri menjadi tumbal demi kesejahteraan rakyat. Ia dimasukkan ke dalam lubang besar di dasar bendungan. Namun, atas kuasa dan perlindungan Allah SWT, Mbah Wagar berhasil lolos dari maut dan melarikan diri ke arah barat melewati Kuniran. Dalam pelariannya, ia berhenti sejenak di sebuah tempat yang kini dikenal sebagai punden petilasan Mbah Wagar.
Perjalanan spiritual Mbah Wagar berlanjut menuju Pacitan. Di kawasan Gondang Legi dan Tumpuk, ia menancapkan tongkatnya—yang kelak dikenal masyarakat sebagai petilasan Lembu Suro. Ia kemudian berjalan ke arah timur dan meninggalkan sapu tangannya di suatu tempat yang sekarang disebut petilasan Nduruan.
Langkahnya berakhir di daerah Banaran, sekitar wilayah Petung. Di sana, Mbah Wagar jatuh sakit dan akhirnya menghilang secara misterius (moksa)—tanpa meninggalkan jasad.
Kabar tentang kepergian Mbah Wagar segera terdengar oleh istrinya. Dengan hati penuh rindu, sang istri berangkat menuju Banaran sambil membawa bakul berisi nasi. Setibanya di utara makam Mbah Wagar, ia memanggil suaminya berulang kali. Namun yang terdengar hanyalah gema suara Mbah Wagar tanpa wujud.
Dalam keputusasaan dan kesedihan, sang istri menumpahkan nasi dari bakulnya dan menggeleng-gelengkan kepala sambil menangis. Dalam bahasa Jawa, gerakan menggelengkan kepala disebut gedek-gedek. Dari peristiwa itulah, tempat tersebut kemudian dikenal masyarakat sebagai “Watu Godeg”, yang berarti batu tempat seseorang menggelengkan kepala.
Kini, Watu Godeg di Desa Bandar, Pacitan, menjadi petilasan yang dikeramatkan dan menjadi simbol pengorbanan, kesetiaan, serta kekuatan spiritual. Cerita Mbah Wagar hidup dari generasi ke generasi, mengajarkan tentang keikhlasan berkorban untuk kebaikan sesama dan keyakinan kepada kuasa Tuhan yang melindungi hamba-Nya yang tulus hati. (KPSB)