Godo Gembong Singo Yudho |
PACITAN TERKINI - Bismillah. Salam Literasi Sejarah. Pacitan Kota Misteri. Situs Godo Gembong Singo Yudho merupakan salah satu peninggalan budaya dan kepercayaan lokal yang menyimpan kisah historis bercampur unsur mitologis dari masa transisi Hindu–Islam di wilayah Pacitan, Jawa Timur. Berdasarkan tuturan masyarakat setempat, situs ini diperkirakan berasal dari abad ke-13 hingga ke-14 Masehi, masa di mana pengaruh Islam mulai menyebar ke pesisir selatan Jawa melalui jalur kekuasaan dan perdagangan.
Dalam tradisi lisan disebutkan bahwa seorang panglima perang dari Kesultanan Demak Bintoro, bersama pasukan sekutu dari Kasultanan Cirebon, Kerajaan Pasai, Giri Kedaton (Gresik), dan Tegal/Slawi, melakukan ekspedisi militer ke wilayah Kerajaan Wiranti (Kalak/Donorojo, Pacitan). Saat itu, Wiranti diyakini merupakan kerajaan Hindu penerus Majapahit yang dipimpin oleh Raden Panji atau Pangeran Kalak, putra dari Prabu Brawijaya Akhir.
Perang besar pun pecah di kawasan Gunung Jaran, dinamai demikian karena pasukan Demak membawa bala tentara berkuda. Namun, pertempuran berakhir dengan kekalahan pasukan Demak akibat perlawanan sengit dari pasukan Wiranti, yang menurut kisah rakyat diperkuat oleh makhluk raksasa (buto) sakti yang memakan daging manusia.
Setelah kekalahan tersebut, sang panglima Demak melakukan pertapaan di wilayah Gunung Petit, di bawah pohon Asem Jawa, memohon pertolongan kepada Allah SWT untuk memenangkan perang. Dalam perjalanan spiritual itu, ia bertemu seekor harimau Jawa tua yang juga tengah bertapa di bawah pohon yang sama. Terjadilah pertempuran sengit antara keduanya, hingga sang panglima berhasil menewaskan harimau tersebut.
Setelah tewas, harimau itu berubah menjadi seorang resi (pendeta suci) yang kemudian memberikan pesan spiritual. Sang resi meminta sang panglima untuk mengganti namanya menjadi Gembong Singo Yudho—sebuah simbol kekuatan dan kesucian. Ia juga berjanji akan membantu sang panglima dalam mengalahkan pasukan raksasa dan memenangkan peperangan. Resi itu memerintahkan agar pohon Asem Jawa tempat pertapaan tersebut dijadikan simbol keberadaan dirinya dan tempat pertemuan antara kekuatan spiritual lama (Hindu) dan baru (Islam).
Situs Godo Gembong Singo Yudho yang kini tersisa diyakini berasal dari kayu galih pohon Asem Jawa, berukuran sekitar 35 cm dengan 15 gerigi menyerupai gigi penggilingan, runcing di bagian atasnya. Benda ini dianggap sakral dan masih memancarkan aura mistis hingga kini, meskipun telah berumur ratusan tahun.
Secara filosofis, makna yang terkandung dalam situs ini mencerminkan ajaran moral dan spiritual masyarakat Jawa: bahwa sebesar apa pun derajat manusia di dunia, baik dalam manis, pahit, maupun “asem”-nya kehidupan, semuanya harus bermuara pada satu titik—yakni keridhaan dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Situs Godo Gembong Singo Yudho bukan sekadar peninggalan benda sakral, melainkan simbol pertemuan nilai-nilai keislaman dan tradisi lokal yang menandai proses islamisasi di Pacitan. Melalui narasi turun-temurun, situs ini menjadi penanda identitas, memori kolektif, sekaligus warisan spiritual masyarakat yang menghubungkan masa lalu dan masa kini dalam bingkai kepercayaan budaya.
Penulis: Amat Taufan