PACITAN TERKINI - Tradisi pemasangan penuwun rumah masih dijaga dan dijalankan oleh sebagian masyarakat Jawa sebagai wujud ikhtiar batin sebelum rumah benar-benar ditempati. "Penuwun" bagian tertinggi dari rangka atap dipandang sebagai simbol penyangga kehidupan, sehingga pemasangannya tidak dilakukan sembarangan, melainkan melalui pertimbangan hari dan waktu yang diyakini membawa kebaikan.
Jum’at Wage kerap dipilih karena dipercaya mengandung nilai keseimbangan dan ketenteraman. Hari Jum’at dimaknai sebagai hari penuh berkah dan doa, sementara pasaran Wage melambangkan kesederhanaan, keikhlasan, dan ketulusan niat.
Perpaduan keduanya dianggap tepat untuk memulai sesuatu yang besar dan bersifat jangka panjang, seperti membangun rumah.
Makna spiritual semakin kuat ketika penuwun dipasang pada bulan Rejeb. Dalam penanggalan Jawa-Islam, bulan ini dikenal sebagai waktu yang istimewa, sarat dengan nilai perenungan dan peningkatan spiritual.
Sebagian masyarakat meyakini bahwa memulai pekerjaan penting di bulan Rejeb merupakan bentuk permohonan perlindungan, keselamatan, serta kelancaran rezeki bagi penghuni rumah.
Prosesi penuwun biasanya disertai doa bersama dan selametan sederhana, melibatkan keluarga, tetangga, dan para tukang. Selain sebagai ungkapan syukur, kegiatan ini mempererat rasa kebersamaan dan gotong royong.
Melalui tradisi penuwun, masyarakat tidak hanya mendirikan bangunan fisik, tetapi juga menanamkan harapan agar rumah menjadi tempat yang aman, harmonis, dan membawa keberkahan bagi generasi yang menempatinya.
Nilai kebersamaan dan gotong royong tampak begitu kuat dalam proses pembangunan rumah, khususnya saat memasuki tahap pemasangan penuwun. Pengerjaan dilakukan secara bersama-sama, melibatkan para tukang, keluarga, dan warga sekitar tanpa pamrih. Kebersamaan ini mencerminkan semangat saling membantu yang masih hidup dan terpelihara dalam kehidupan masyarakat.
Ketika tiba saat pemasangan penuwun, tuan rumah mengekspresikan rasa terima kasih dan syukur karena pembangunan telah mencapai tahap akhir. Ungkapan rasa syukur tersebut diwujudkan melalui sedekah makanan, yang disiapkan dan dibagikan kepada semua yang hadir. Hidangan seperti nasi ingkung beserta lauk-pauk lainnya menjadi simbol doa, harapan keselamatan, serta permohonan berkah agar rumah yang dibangun membawa ketenteraman dan kebaikan bagi penghuninya.
Melalui momen ini, penuwun tidak hanya dimaknai sebagai elemen bangunan, tetapi juga sebagai ruang perjumpaan nilai-nilai sosial, spiritual, dan budaya.
Tradisi tersebut mempererat hubungan antarwarga, meneguhkan rasa kebersamaan, dan menumbuhkan kesadaran bahwa sebuah rumah berdiri bukan hanya oleh tenaga fisik, tetapi juga oleh doa, keikhlasan, dan gotong royong. (Redaksi)