Oleh: Silvi Aulia Putri Lailyana (*)
Cerita ini menceritakan perjalanan hidup Sonia Larasati, seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana. Meskipun dihadapkan pada keterbatasan ekonomi, Sonia memiliki tekad kuat untuk meraih mimpinya dan membantu orangtuanya. Dia menghadapi ejekan dan cemoohan tetangga sekitarnya, tetapi tidak pernah kehilangan semangat.
Sonia memulai perjalanannya dengan tekad untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dan meraih beasiswa. Dia menjalani kehidupan yang sibuk dengan kuliah, bekerja, dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Namun, dia tidak pernah menyerah dan terus berjuang untuk mencapai cita-citanya.
Pesan dalam cerita ini adalah tentang tekad, kerja keras, dan keteguhan dalam menghadapi rintangan. Sonia menunjukkan bahwa dengan kemauan dan semangat yang kuat, seseorang dapat mengatasi keterbatasan ekonomi dan meraih kesuksesan. Cerita ini juga menekankan pentingnya berusaha dengan sungguh-sungguh, memanfaatkan peluang, dan tidak takut untuk melangkah maju menuju masa depan yang lebih baik.
Pada saat matahari belum bersinar ketika terdengar suara adzan, aku mulai bangun untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim.
Namaku Sonia Larasati yang akrab dipanggil Nia, seorang gadis berusia 17 tahun yang saat ini masih menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan kelas 3. Setelah semuannya selesai aku mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Tidak lupa aku berpamitan kepada kedua orangtuaku.
“Yah, Bu. Nia berangkat,” kataku sambil menyalami ayah dan ibuku secara bergantian.
“Iya Nia, ini bekalnya dan ini juga dagangan jangan lupa,” kata Ibu sambil memberikan bekal dan dagangan ke tanganku.
“Terima kasih, Bu," jawabku.
“Hati-hati di jalan, Nia,” kata Ayahku.
“Iya, Yah. Assalamualaikum.” Kataku sambil melangkah untuk pergi.
“Waalaikumsalam.” Jawab Ayah dan Ibu bersamaan.
Seperti hari-hari sebelumnya, disaat matahari belum terbit kulangkahkan kaki menyusuri jalan setapak menuju ke sekolah. Tidak lupa dengan membawa dagangan berupa kue yang akan kutitipkan. Inilah rutinitasku setiap hari. Hidup dalam keluarga sederhana membuatku tidak putus semangat, untuk meraih cita-citaku dan mewujudkan mimpiku menjadi orang yang sukses.
Ayahku seorang buruh serabutan yang kadang bekerja kadang tidak, sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga dan membantu perekonomian keluarga dengan membuat kue yang akan dititipkan di warung-warung tetangga termasuk di kantin sekolahku juga.
Ketika sudah sampai di sekolah, memang masih sepi hanya terlihat satu atau dua orang siswa yang berlalu lalang. Tanpa membuang waktu aku langsung menuju kantin di sekolahku untuk bertemu Ibu Saripah, pemilik kantin yang biasanya menerima titipan kue buatan ibuku.
“Ibu Saripah.” Kupangil beliau dengan suara yang lumayan keras.
“Iya nak. Sudah sampai rupanya.” Bu Saripah pun menoleh seraya berkata sambil tersenyum.
“Hehehe… Iya, Bu. Seperti biasa, Nia mau menitipkan kue masih bolehkan, Bu?” tanyaku sambil mendekat ke arah meja yang sedang dibersihkan Bu Saripah.
“Tentu saja boleh,” kata Ibu Saripah sambil tersenyum.
Kemudian aku dan Bu Saripah menyusun kue-kue ke dalam rak plastik yang sudah disediakan. Di sela-sela waktu kesibukan kami saat menyusun kue, tiba-tiba Bu Saripah bertanya.
“Nia, sebentar lagi kamu kan sudah akan lulus, enggak kepengen lanjut kuliah ?” tanya Bu Saripah.
“Nia sih pengen bu, tapi masih bingung soalnya biaya untuk kuliah juga besar, apalagi nanti kalau harus kos,” jawabku.
“Ya tidak apa-apa, kamu kan bisa kerja sambil kuliah,” kata Bu Saripah.
“Iya nanti Nia pikirkan lagi, Bu. Sekarang, Nia ingin fokus belajar untuk ujian sekolah nantinya,” kataku sambil pergi menuju ruang dimana kelasku berada setelah berpamitan dengan Bu Saripah.
Aku langsung menuju bangku pojok bagian belakang, tempatku biasanya duduk bersama dengan teman semejaku yang bernama Tira. Aku menyapa Tira seperti biasanya yang dibalas dengan seulas senyum tulus olehnya. Tidak lama bel pun berbunyi menandakan segera dimulainya pelajaran.
Aku bersekolah di SMK Kenanga Bakti jurusan Tata Busana, sebenarnya ketika aku memilih jurusan ini alasan utamanya adalah dulu sewaktu ayah dan ibu pergi setiap hari raya, selalu memakai pakaian yang sama berulang kali.
Aku pernah bertanya tapi ayah maupun ibu hanya menjawab kalau baju mereka masih bagus dan tidak perlu beli lagi. Aku dulu selalu mempercayainya tapi seiring berjalannya waktu, aku baru tahu jika sebenarnya ayah dan ibuku tidak mampu untuk membeli baju-baju yang baru, hanya aku saja yang diusahakan setiap tahunnya memiliki baju baru.
Mungkin ayah ibuku takut kalau aku nantinya akan malu dan iri saat melihat temanku lainnya memiliki baju baru. Itulah yang memotivasiku untuk mengambil jurusan ini dan hingga sekarang aku tidak menyesal karena hal ini menjadi sesuatu yang sangat aku gemari saat ini.
Ketika pelajaran usai, kemudian saatnya pulang. Aku selalu berjalan kaki kembali untuk pulang ke rumah. Walaupun sedikit jauh tetapi aku tidak pernah mengeluh karena aku selalu ingat ketika orangtuaku juga bekerja keras, mereka terus berjuang tidak kenal lelah demi diriku dan demi kebahagiaanku.
Di suatu sore ketika aku sedang duduk sambil melamun, ayah dan ibu menghampiriku di ruang tamu.
“Ada apa Nak, akhir-akhir ini kamu sering melamun,” ungkap ibu yang duduk di sampingku.
“Hmm…. Yah, Bu. Nia berpikir untuk melanjutkan kuliah. Apakah boleh?” tanyaku sedikit takut pada ayah dan ibu.
“Nia tahu sendiri kan, keluarga kita ini bukan orang kaya apalagi mampu, kamu sekolah saja dengan biaya yang pas-pasan, saat tetangga kita tahu keinginanmu ini, mereka akan bertambah mengejek kita. Jika nanti kamu kuliah akan seperti mereka menilai kita, atau bahkan mereka akan menghujat kita macam-macam, Nia.” Kata Ibuku sambil berurai air mata.
“Kalau Ayah, terserah kamu saja. Keputusan ada di tanganmu.” Ucap Ayah sambil menenangkan ibu yang masih menangis.
“Baiklah Ayah, Ibu. Nanti Nia pikirkan lagi, pasti akan ada jalan keluarnya. Tapi Nia berharap restu dari Ayah dan Ibu.” Ungkapku di hadapan orangtuaku.
“Tapi nak……”, kata Ibu ingin menambahkan.
“Sudahlah, Bu. Kita sebagai orangtua harusnya merestui dan mendoakan yang terbaik untuk Nia.” Ungkap Ayah menyela perkataan Ibu.
“Iya, Yah," jawab Ibuku pasrah.
Ya, memang aku dan kedua orangtuaku menjadi bahan cemoohan tetangga di sekitar, karena berasal dari keluarga kurang mampu tapi masih ingin sekolah. Rata-rata anak di desaku bersekolah hanya sampai Sekolah Menengah Pertama.
Apalagi aku memilih Sekolah Menengah Kejuruan, tambahlah meraka meremehkan aku. Aku pernah mendengar salah satu dari tetanggaku mengatakan.
“Anak SMK bisa jadi apa, mau kuliah saja belum tentu diterima. Dan lagi pula kelurganya orang tidak punya.” Ujar salah satu tetanggaku, Bu Mirah namanya.
Hal itu dulu membuatku kurang percaya diri tapi sekarang malah menjadi pemacu semangatku untuk menunjukkan bahwa aku bisa. Seberat dan sesulit apapun rintanganku nanti, pasti akan aku hadapi untuk mimpiku yang nyata dan tidak pernah sirna yaitu menjadi kebanggaan orangtuaku.
Hari-hari berlalu, semenjak pembicaraanku dengan ayah dan ibu. Aku semakin giat dan semangat dalam belajar, tidak hanya fokus untuk mengikuti ujian tetapi aku juga semakin sering mencari tahu informasi-informasi seputar beasiswa.
Pilihanku rupanya jatuh pada beasiswa, awalnya aku pernah mendengar pembicaraan teman-teman satu kelasku ketika mereka membahas masalah kuliah dan dari sanalah aku mulai tertarik untuk mendapatkan beasiswa.
Entah bagaimana tetangga di sekitar rumahku pun tahu mengenai aku yang ingin kuliah dan sekarang ini banyak sekali yang tengah membicarakan keluargaku. Tidak hanya sampai disitu, tetangga juga teman-teman disekiar rumah selalu menjauhiku maupun keluargaku.
Mereka menganggap kami sok kaya, kemudian selalu mengatakan padaku pasti nanti akhirnya juga jadi tukang jahit keliling, dan masih banyak lagi ejekan-ejekan yang terus ditujukan untukku maupun untuk orangtuaku. Aku mulai ragu, tapi suatu hari ibuku tiba-tiba berkata.
“Nia kejarlah mimpimu jangan patah semangat, raih cita-citamu dan teruslah melangkah. Apapun keputusanmu ayah maupun ibu hanya bisa berdoa serta merestui apapun keputusan yang akan kamu ambil, Nak. Ayah dan ibu ini tidak punya uang yang banyak, tapi doa kami akan selalu mengiringi langkahmu.” Kata Ibu yang membuatku terharu saat itu.
Kejadian waktu itu selalu membuatku teringat, aku menangis meminta kepada Allah dalam setiap untaian doa yang aku panjatkan disetiap sujudku, agar mimpi untuk membanggakan orangtuaku dan mencapai cita-cita menjadi orang sukses dikabulkan suatu hari nanti.
Suatu hari pada saat aku selesai ujian, Ibu Guru memberikan informasi jika beasiswa ke Perguruan Tinggi Negeri sudah dibuka dan jumlahnya terbatas tapi aku masih bertekad serta berusaha untuk mendapatkannya. Beasiswa untuk masuk Perguruan Tinggi pun semakin banyak, namun seiring berjalannya waktu banyak pula yang ingin mendapatkannya. Aku tidak hanya mendaftarkan disatu Perguruan Tinggi saja melainkan beberapa, semuanya rata-rata memberikan ujian yang sulit tapi aku berusaha melakukan yang terbaik.
Aku berharap semoga salah satunya bisa menerimaku di jalur beasiswa. Tidak bisa dipungkiri jika aku takut membuat orangtuaku kecewa. Setiap waktu aku selalu merasa cemas, jantungku berdebar menunggu pengumuman kelulusan dan pengumuman beasiswa yang telah aku ikuti selaksinya untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Akhirnya yang aku tunggu tiba yaitu hari pengumuman kelulusanku. Aku mempercepat langkahku untuk sampai di papan pengumuman dekat kantor Guru dan ternyata namaku ada di sana dengan keterangan aku lulus serta mendapat nilai yang terbaik dari semua siswa. Aku sangat bahagia, tidak sabar rasanya untuk memberi tahu orangtuaku. Tidak perlu berlama-lama aku segera berbalik untuk pulang, tapi langkahku terhenti ketika ada seseorang yang memanggil namaku.
“Sonia Larasati,” panggil Bu Yati, salah satu Guru di sekolah.
“Iya, Bu. Saya,” jawabku sambil mendekat.
“Ini ada titipan. Dibukanya di rumah ya, kalau bisa bersama orangtua saat membukanya,” kata Bu Yati ketika memberikan amplop coklat sambil tersenyum ramah menatapku.
“Baik, Bu. Saya pulang dulu. Assalamualaikum,” ucapku sambil bersalaman dengan Bu Yati.
“Waalaikumsalam,” kata Bu Yati.
Aku pun pulang, di sepanjang jalan aku berpikir apakah isinya uang, itulah yang pertama kali terlintas di pikiranku. Tidak butuh waktu lama aku telah sampai di rumah dan kebetulan ayah maupun ibu ada di ruang tamu.
Segera saja aku hampiri dan kuajak untuk membuka amplop tersebut. Ketika sudah terbuka mataku terpaku pada surat dengan barisan huruf yang seketika membuat air mataku luruh. Di dalam surat dinyatakan bahwa aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri terbaik jurusan S1 Pendidikan Tata Busana dengan beasiswa sampai lulus.
“Alhamdulillah Yah, Bu. Aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri,” kataku sambil menangis dengan memeluk orangtuaku.
“Alhamdulillah, Nak. Kami bangga padamu,” kata ayahku.
“Belajar yang rajin ya, Nak. Jangan lupakan kewajibanmu untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah.” Sambung Ibu, dengan mata yang berkaca-kaca sambil memelukku dengan erat.
“Tapi tidak apa-apa kan Yah, Bu. Kalau Nia pergi ke kota yang kemungkinan akan tinggal terpisah dari Ayah dan Ibu?” tanyaku kepada Ayah dan Ibu.
“Tidak apa-apa, Nak. Yang terpenting Nia jaga diri, jaga pergaulan, dan jangan lupakan sholat.” Nasehat Ayah.
“Iya Nia, dan untuk biaya sehari-hari bagaimana?”sambung Ibuku.
“Baik, Yah. Sudah ada biaya yang diberikan oleh kampus, Bu. Tapi Nia di sana juga akan berusaha untuk cari pekerjaan,” jawabku.
“Baiklah, Ayah dan Ibumu ini akan selalu berdoa agar Nia bisa meraih cita-cita dan mencapai kesuksesan. Ingat pesan ayah dan ibu ya!” kata Ayah.
“Iya, Yah,” sahutku kemudian.
Tidak terasa tibalah saat untuk keberangkatanku ke kota. Aku berpamitan kepada ayah dan ibu. Setelahnya aku masuk ke bus yang akan membawaku sampai ke kota. Kota yang semoga saja menjadi awal kesuksesanku nantinya.
Di kota aku menjalani hari-hari yang sangat sibuk juga melelahkan, mulai dari kuliah hingga kerja. Ya, saat ini aku diterima bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran dengan gaji yang cukup besar. Walaupun pekerjaan ini sering diremehkan orang, aku bersyukur bisa bekerja, dengan halal pula. Jadi tidak akan merepotkan orangtuaku di desa.
Setelah beberapa semester ternyata dosenku mengajukan penawaran padaku, agar aku menjadi asisten dosen saja, karena aku dinilai mampu untuk melakukannya didukung dengan nilai-nilaiku yang di atas rata-rata. Tidak membuang waktu lama aku langsung menyetujuinya, dan berakibat semakin banyaklah kegiatan yang aku lakukan, namun yang pasti aku bisa membagi waktu sehingga semua dapat kujalani dengan hasil maksimal.
Di sela-sela kesibukanku, aku tidak lupa untuk terus memberi kabar kepada orangtuaku yang saat ini sudah memiliki telepon rumah. Alhamdulillah aku sudah bisa mengirimkan uang dari gajiku yang selama ini aku kumpulkan untuk orangtuaku agar mereka tidak kesulitan lagi dengan adanya aku yang membantu perekonomian keluarga.
Waktu terus berlalu, tidak terasa saat ini aku akan wisuda dengan didampingi ayah dan ibu. Raut bahagia tidak pernah lepas dan terus terpancar di wajah orangtuaku. Tidak hanya itu saja yang menjadi pelangkap kebahagiaanku, ternyata aku menjadi lulusan terbaik seangkatanku dan mendapatkan beasiswa ke luar negeri untuk melanjutkan S2. Tentu saja aku tidak melewatkan hal itu, aku mengambil beasiswa itu dengan berbekal tekad dan semangat aku berhasil menempuh pendidikan di luar negeri dan menyelesaikannya dengan cepat. Setelah aku lulus kemudian kembali ke negaraku, aku diterima menjadi dosen di salah satu Perguruan Tinggi Negeri yang bergengsi.
Hal itu yang kemudian menjadikan kehidupanku dan keluargaku mulai berubah. Perekonomian keluarga sudah meningkat menjadi lebih baik bahkan bisa dikatakan sekarang ini sangat mampu. Walaupun sudah menjadi keluarga yang terpandang di lingkungan rumahku, tapi hal itu tidak lantas membuat kami sombong.
Merasakan dulunya menjadi orang yang kurang mampu, menjadikan kami sekeluarga tahu akan arti kehidupan yang sesungguhnya, tangan kami selalu terbuka untuk membantu sesama yang kurang mampu. Kami masih tinggal di desa, aku akan bekerja di kota namun jika libur tiba aku kembali ke desa untuk menghabiskan waktu dengan orangtuaku.
Katika aku pertama kali menginjakkan kaki ke desaku lagi setelah aku sukses, semua tetangga bersikap ramah kepadaku dan orangtuaku, berbanding terbalik dengan yang dulu, tentu saja aku memakluminya. Tidak ada lagi yang menggunjing dan menjauhi keluarga kami, itulah yang membuatku bahagia. Ketika kita berpikir untuk maju, jalani, usahakan dan janganlah takut untuk terus melangkah.
Sebanyak dan seberat apapun rintangan maupun hambatan yang kita hadapi tetaplah percaya bahwa akan ada akhir bahagia, jika kita berusaha sekuat tenaga. Untuk diri kita, orangtua kita, dan untuk masa depan yang menanti kita, usahakan yang terbaik. Inilah yang selalu menjadi kalimat ketika aku mengatakan kepada semua orang yang bertanya kepadaku mengenai bagaimana aku mencapai kesuksesanku ini. (*)