PACITANTERKINI || Dengan membuka kata "BISMILLAH" dan menyampaikan "Salam Literasi Sejarah", kami menghadirkan sebuah cerita tentang Kota Pacitan yang memancarkan misteri dan kekayaan sejarahnya. Di sini, Citus Batu Umpak di Sokoguru Pendopo Kyi Ageng Notopuro di Dusun Rejoso, Desa Sukoharjo, Kecamatan Pacitan, menjadi saksi bisu dari masa lalu yang kaya.
Pada abad ke-16 hingga 17 Masehi, ketika pesisir Kidul masih berupa lautan bebas yang mulai surut dan belum memiliki nama, wilayah ini merupakan bagian dari bekas kerajaan Wiranti (Kalak/Donorojo) yang dihancurkan oleh kerajaan Islam sekutu, termasuk Demak, Pasai, Cirebon, Slawi, dan Turki, pada abad ke-13 hingga 14 Masehi. Di tengah kehancuran itu, muncul seorang tokoh masyarakat dan ulama yang dihormati oleh masyarakat setempat, bernama Kyi Ageng Notopuro, yang tinggal di Rejoso, Desa Sukoharjo, Kecamatan Pacitan.
Kyi Ageng Noto Puro membangun masyarakat sekitarnya dengan membentuk tata keprajuritan, mendirikan pendopo rumah, sumur, serta mengembangkan komoditas pertanian seperti kuda dan seni lukis batik yang masih dilestarikan oleh masyarakat setempat hingga kini. Banyak yang percaya bahwa beliau adalah keturunan dari Eyang Kyi Ageng Petung (Syeh Sunan Siti Geseng) yang berasal dari Demak Bintoro pada abad ke-15, yang bersama dengan Kyi Ageng Posong dan Syeh Maghribi membersihkan pengaruh Agama Hindu dari sisa-sisa pengaruh Kerajaan Wiranti/Kalak (Donorojo/Pacitan).
Citus Batu Umpak menjadi saksi sejarah penting di lokasi tersebut, menandakan bahwa tempat tersebut sangat bersejarah dan menjadi rumah bagi seorang alim ulama yang dihormati dan mengelola tanah perdikan yang merdeka di zamannya, hingga abad ke-17 ketika Pangeran Mangkubumi/Sri Sultan HB I melarikan diri ke Hutan Craken (Desa Sumberharjo, Kecamatan Pacitan) setelah kalah perang melawan Belanda. Bersama pasukannya, Pangeran Mangkubumi membawa serta abdi setianya bernama Setroketipo, yang menemukan buah "Pace" di hutan tersebut.
Terdapat beberapa versi nama Pacitan salah satunya berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan, dikaitatkan dengan kondisi Pacitan yang sangat gersang dan tanaman Padi penghasil beras sangat sedkit dan hanya bisa dijadikan sebagai makanan camilan yang dihidangkan bersama dengan minuman teh atau kopi. Walaupun pelakunya sama yakni Pangeran mangkubumi dan abdi setianya Setroketipo.
Buah Pace yang ditemukan tersebut diolah dengan air dari "Sumber Belik Kuning", yang membuat seluruh pasukan pulih kembali setelah kelelahan. Pangeran Mangkubumi bersumpah bahwa bumi tersebut, yang sebelumnya disebut Craken, akan diberi nama "Pacitan" jika beliau menjadi raja, sebagai bentuk penghormatan terhadap kesaktian buah Pace tersebut. Maka, Setroketipo diangkat menjadi Adipati Pacitan ketika Pangeran Mangkubumi menjadi raja.
Hingga kini, umpak pendopo di lokasi Citus Batu Umpak masih dianggap sakral dan menjadi bukti sejarah dari "Tanah Perdikan Rejoso", yang dikaitkan dengan Kyi Ageng Noto Puro pada abad ke-16 Masehi, sebelum Eyang Setroketipo menjadi bupati pada abad ke-17.
Penulis: Amat Taufan