PACITAN || Di Desa Sukoharjo, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan, terdapat sebuah tradisi bersejarah yang berasal dari abad ke-16 hingga ke-17 Masehi, yang dikenal dengan nama "Entas-Entas Pari." Tradisi ini diawali oleh seorang tokoh agama dan pemimpin masyarakat yang dihormati, Kyai Ageng Notopuro. Beliau diangkat oleh Keraton Surakarta Hadiningrat dengan gelar "Notopuro", sebagai Adipati tetapi sebagai pemangku adat dan peradaban Kerajaan Surakarta di wilayah tersebut.
"Entas-Entas Pari" adalah sebuah acara tasyakuran yang diadakan setelah panen raya, di mana masyarakat setempat berkumpul untuk berdoa dan mensyukuri hasil panen padi. Dalam acara ini, sebagian hasil panen diwujudkan dalam bentuk makanan yang dimakan secara bersamaan.
Kebersamaan diharapkan selalu lestari dalam keadaan suka dan duka. Acara ini memiliki makna yang mendalam dalam kebudayaan setempat dan telah menjadi tradisi sakral yang dilestarikan hingga hari ini.
Kyai Ageng Notopuro berakhir tragis dengan hukuman mati karena dianggap melanggar peraturan Kerajaan Surakarta. Namun, warisan budayanya melalui tradisi "Entas-Entas Pari" tetap hidup dan dihormati sebagai simbol bakti kepada negara dan kasih sayang terhadap sesama. Tradisi ini terus lestari dan menjadi bagian penting dari identitas serta sejarah masyarakat Pacitan.
Doa penutup yang sering diucapkan dalam acara tersebut, "Mugio Gusti ALLAH Paring berkahipun teng Engsun; Keluarga; rakyat lan penerus ipun Kanjeng Nabi Muhamad Rosullah; bumi langit sak isinipun," mencerminkan harapan masyarakat agar berkah dan perlindungan diberikan kepada semua orang, menegaskan nilai-nilai spiritual yang mendalam yang terkandung dalam tradisi ini.
Pewarta: Amat Taufan