Oleh: Agoes Hendriyanto
Di salah satu sudut sunyi Pacitan, tepatnya di Pondok Pesantren Tremas Pacitan, api bukan hanya simbol semangat, tapi benar-benar menyala di lapangan. Brojo Geni, permainan bola api yang diwariskan sejak tahun 1830 M, tak sekadar jadi hiburan para santri, tetapi menjadi bentuk dakwah, ujian spiritual, dan warisan budaya yang masih menyala hingga kini.
Dari Bola Api Menjadi Media Dakwah
Antara Futsal dan Ritual Spiritual
- Pertama, bola yang digunakan adalah bola api, bukan bola biasa.
- Kedua, para pemain bermain bertelanjang kaki tanpa pelindung apapun.
- Ketiga, pemain tidak mengenakan seragam resmi, hanya mengenakan sarung atau pakaian santri harian.
- Keempat, tidak semua orang bisa bermain. Hanya santri tingkat akhir yang telah melalui laku spiritual (riyadhoh) tertentu yang diizinkan tampil.
- Kelima, Api yang Menyatukan, Bukan Memecah
- Keenam, Melestarikan Tradisi, Menjaga Jati Diri
Berawal dari inisiatif Kyai Haji Abdul Manan, pendiri Perguruan Islam Pondok Tremas, Brojo Geni diciptakan sebagai media dakwah untuk menyebarkan Islam. Sejalan dengan pendekatan Wali Songo yang mengenalkan ajaran Islam melalui seni dan budaya, Kyai Abdul Manan mengemas nilai amar makruf nahi mungkar ke dalam permainan yang menantang dan simbolik: menaklukkan api.
Dalam istilah Jawa, Brojo berarti petir atau halilintar (dari bahasa Sanskerta Braja), dan Geni berarti api. Nama itu bukan sekadar metafora. Bola dalam permainan ini memang sungguhan terbuat dari sabut kelapa yang direndam minyak tanah dan dibakar, menghasilkan bola api yang menyala terang di tengah malam.
Sekilas Brojo Geni memang mirip dengan futsal: dua tim berhadapan, saling berebut bola, berusaha mencetak gol. Namun di balik bentuknya yang sederhana, Brojo Geni memiliki keunikan yang tidak dimiliki olahraga lain.
Riyadhoh itu bukan sembarang latihan: puasa tanpa nasi putih selama tujuh hari tujuh malam, tidak tidur, tidak makan (ngebleng), dzikir malam, hingga berendam di sungai atau belik untuk penyucian diri. Semua itu bertujuan agar pemain mampu mengendalikan api, baik secara fisik maupun spiritual. Sebab dalam Brojo Geni, mengendalikan bola berarti mengendalikan diri.
Usai pertandingan, tak ada saling benci. Sebaliknya, para pemain berjabat tangan, saling memaafkan, dan menumbuhkan rasa ukhuwah. Api yang sebelumnya diperebutkan di lapangan menjadi simbol pembersih jiwa. Panasnya bola adalah ujian, bukan alat pemecah.
Salah satu tokoh penting dalam mempopulerkan Brojo Geni adalah KH. Mahrus Hasyim, tokoh legendaris Tremas yang mengenalkan permainan ini secara luas, terutama di kalangan asrama Al Huda. Sejak saat itu, Brojo Geni rutin digelar tiap 1 Muharram sebagai bagian dari peringatan Tahun Baru Islam.
Di tengah derasnya pengaruh budaya luar, Brojo Geni adalah napas yang mengingatkan kita bahwa kekuatan lokal bisa menjadi kebanggaan nasional. Lebih dari sekadar permainan ekstrem, ia adalah cermin kearifan lokal, kedalaman spiritual, dan nilai-nilai luhur seperti keberanian, ketekunan, ketulusan, dan persaudaraan.
Kini, saat generasi muda disibukkan oleh gawai dan e-sport, Brojo Geni hadir sebagai pengingat bahwa olahraga tradisional bukan sekadar permainan, tapi juga warisan spiritual dan budaya yang sarat makna.
Brojo Geni bukan hanya menyala dalam bentuk bola api, tetapi juga dalam semangat kebudayaan dan nilai-nilai luhur yang membakar kesadaran kita tentang pentingnya tradisi, spiritualitas, dan persatuan. Bila kita ingin membentuk karakter bangsa yang kuat, Brojo Geni adalah salah satu api yang patut dijaga agar tak pernah padam.