PACITAN TERKINI || Mentari pagi menembus sela-sela pepohonan, menciptakan bayangan lembut di halaman depan asrama. Hari itu adalah momen muadaah perpisahan setelah setahun penuh berbagi suka dan duka bersama. Kami, para santri putri, berkumpul dengan senyum di wajah meski hati terasa berat. Bu Ustadzah mengenakan baju oranye yang cerah, berdiri di tengah kami yang berpakaian hitam putih.
Di sisi kanan, anak kecil, putra pemilik asrama, berlarian dengan ceria, menambah nuansa bahagia yang melengkapi suasana pagi itu. Pepohonan yang rindang seolah menjadi saksi keakraban kami selama ini.
Aku menatap foto yang baru saja diambil, lalu berkata kepada Kaina, sahabatku, “Ini momen waktu kita muadaah, ya. Setelah menyelesaikan semuanya, kita ngumpul bareng di depan asrama. Kala itu, kita mewarnai hari-hari dengan warna yang berbeda, membentuk lukisan kehidupan yang sangat indah.”
Kaina tersenyum, matanya menerawang. “Iya, muadaah itu seperti perpisahan, kan? Setelah kita melalui banyak hal bersama, akhirnya kita bisa tersenyum bareng-bareng.”
Aku mengangguk, lalu menatap ke arah Bu Ustadzah. “Ingat nggak, waktu Bu Ustadzah ngajarin kita Ta’lim Muta’allim? Beliau selalu bilang, ‘Ilmu itu akan berkah kalau adab dan hormatmu pada guru terjaga.’ Aku bakal selalu ingat itu.”
Kaina tertawa kecil. “Iya, dan anak kecil itu, lucu banget. Dia lari-lari terus sambil senyum. Pepohonan di sini juga bikin suasana makin adem. Cuaca cerah banget waktu itu.”
Kami terdiam sejenak, mengenang momen-momen penuh cerita selama setahun terakhir. Rasanya seperti daun yang jatuh ke sungai, terbawa arus namun menyisakan jejak rindu di sepanjang perjalanan.
Aku akhirnya berbicara lagi, “Kenangan kebersamaan kita seperti daun jatuh di sungai, ya. Terbawa pergi, tapi meninggalkan jejak rindu.”
Kaina menambahkan, “Iya, kita seperti taman penuh bunga. Menerima setiap perbedaan dan menjadikannya satu kesatuan yang indah.”
Perpisahan memang menyedihkan, tapi kami tahu ini bukan akhir. Foto itu, dengan senyum-senyum kami yang tulus, akan menjadi kenangan abadi.
“Meskipun perpisahan itu menyedihkan,” kataku, “tapi kita nggak boleh biarkan kesedihan itu merantai hati.”
Kaina menepuk pundakku pelan. “Iya, perpisahan itu bukan untuk melupakan, tapi untuk mengejar cita-cita kita masing-masing. Foto ini akan jadi kenangan indah yang bakal kita ingat sampai tua nanti.”
Kami saling tersenyum, memandang foto yang kini menjadi harta karun penuh makna, mengingatkan bahwa perjalanan kami bukan sekadar belajar, tapi juga menjadi keluarga.
Penulis: Yuliana Indah Septiani