Simfoni di Papan Hitam Putih


PACITAN TERKINI || Di atas papan kotak hitam putih, dua pikiran bertemu, bukan untuk pertumpahan darah, tetapi untuk menari dalam tarian strategi.

"Aku mulai dulu, pion ke e4," ujar Pemain Putih, membuka permainan.
"Baiklah, aku tangkis dengan pion ke d5," balas Pemain Hitam dengan tenang.

Raja dan ratu bersiap di singgasana mereka, prajurit berjaga, membentuk barisan. Atmosfer dipenuhi ketegangan tak kasat mata. Setiap langkah terasa seperti bagian dari simfoni strategi, dimainkan dengan hati-hati, melodi penuh presisi di atas papan kecil namun penuh intrik.

Permainan berlanjut ke babak tengah. Langkah ceroboh Pemain Putih menyebabkan kehilangan kudanya yang penting. “Kenapa aku bisa begitu teledor!” gumamnya dalam hati. Lawannya hanya tersenyum tipis, mengatur langkah berikutnya. “Setiap langkah punya konsekuensi. Sekarang saatnya menyerang,” ujar Pemain Hitam dalam hati.

Bidak-bidak berguguran satu demi satu. Benteng runtuh, dan raja mulai terdesak ke sudut sempit. Namun, di balik setiap kekalahan, tersembunyi peluang. Setiap langkah adalah taruhan besar, menguji kecerdasan dan intuisi hingga ke batas.

Permainan mendekati akhir. Tensi meningkat. Pemain Putih merenung, “Jangan-jangan ini jebakan. Aku harus berpikir lebih dalam.” Setiap langkah terasa berat, seolah menentukan segalanya. Raja akhirnya tak bisa lagi bertahan. Permainan berakhir, salah satu raja menyerahkan tahtanya.

Namun, dari kekalahan lahir pelajaran. “Permainan yang luar biasa. Kau hampir membuatku kalah di akhir,” ujar Pemain Putih, mengakui keunggulan lawannya.
“Terima kasih. Aku pun belajar banyak darimu,” jawab Pemain Hitam, tersenyum.

Setelah semua bidak kembali ke tempatnya, kedua pemain berjabat tangan. Di balik ketegangan, ada rasa hormat yang mendalam. Mereka baru saja berbagi sebuah pertempuran yang bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi tentang seni strategi dan kemuliaan pikiran manusia.

Catur, lebih dari sekadar permainan, adalah ekspresi jiwa. Sebuah seni yang melampaui batas hitam putih papan, menyentuh keindahan pikiran manusia.

Penulis: Tita Purwadinata

Lebih baru Lebih lama