Oleh: Prof. Bani Sudardi
Profesor Universitas Sebelas Maret/ Dewan Pakar Senawangi
Toleransi antar agama dan internal agama itu sangat penting.
Tanpa toleransi maka akan terjadi satu ketegangan di antara para pemeluk agama
tersebut. Dasamuka adalah contoh figur dari tokoh yang tidak memiliki toleransi
agama. Menurut cerita Dasamuka adalah pemuja Siwa yang hebat.
Dia selalu menyempatkan hari-harinya untuk memuja Siwa di
sembarang tempat dan sembarang waktu. Dia juga sudah mendapat anugerah Dewa
Siwa berupa kesaktian yang luar biasa. Suatu hari Dasamuka sedang beribadah
kepada dewa Siwa. Iya duduk di satu sisi gunung dan dengan tekun dan memejamkan
mata ia memusatkan pikirannya kepada yantra dewa Siwa. Tetapi ketika
setengahnya iya sedang memuja Dewa Siwa, tiba-tiba tempat duduknya basah oleh
air yang selalu naik.
Air dari Bengawan
Narmada mbeleber akibat Prabu Sasrabahu raja Maespati yang sedang triwikrama.
Emosi si Dasamuka lalu dia terbang tinggi melihat situasi yang sedang terjadi.
Dari atas langit tampaklah seorang raksasa sedang triwikrama dengan tertidur
menghalangi aliran Bengawan Narmada sehingga sampai ke tempat Dasamuka.
Harusnya Dasamuka bertoleransi ada titisan Wisnu triwikrana. Harusnya Dasamuka
mengingatkan bahwa luapan air menganggu dirinya.
Apalagi, dia tahu bahwa ini perbuatan Wisnu yang sedang
triwikrama. Tapi, dia tidak dapat menahan diri. “Drohon,” Dasamuka misuh. “Ini
ada titisan Wisnu pasang walat. Dikira paling jagoan sendiri di dunia. Dikira
saya sang pemuja Siwa tidak bisa menyingkirkan denowo edan iki ya?” hardiknya.
Dasamuka lalu bersiap-siap hendak menyerang Prabu Arjuna Sasrabahu yang sedang
triwikrama.
Patih Suwanda yang sedang menjaga segera menghadang gerakan
Dasamuka tersebut. Iya segera mengerahkan pasukannya untuk mengeroyok Dasamuka.
Tapi memang Dasamuka adalah raja yang sakti. Banyak prajurit Patih Suwanda
tewas di tangan Dasamuka. Patih Suwanda pun kemudian maju dengan segala
kesaktian. Dia dapat mengimbangi kesaktian Dasamuka. Pada saat itu terbanglah
roh Sukasrana dan merasa inilah saat untuk menjemput kakaknya bernama Sumantri
atau Patih Suwanda.
Dahulu secara tidak sengaja Patih Suwanda pernah membunuh
Sukasrana . Maka saat itulah Sukasrana segera bersemayam ditaring Dasamuka dan
ketika Dasamuka berhasil memegang Sumantri, maka taring Dasamuka seperti
bergerak sendiri dan segera ditancapkan di leher Sumantri. Sumantri atau Patih
Suwondo mengaduh kesakitan. Belum sempat dia berbicara selanjutnya, tubuhnya
segera dipoteng-poteng oleh Dasamuka dan remuk lah jasad itu dan Sumantri
gugur.
Di sisi lain roh Sukasrana tertawa-tawa gembira dan roh
Sumantri pun perlahan-lahan dituntun ke langit untuk masuk surgaloka bersama.
Janji sudah ditunaikan. “Ayo Kakang bersama saya ke surga. Sudah bertahun-tahun
aku menunggumu, Dan inilah saatnya kita bisa bersatu, “ kata Sukasrana. Melihat
Sumantri gugur, maka prajurit Maespati geger. Kocar kacir mereka karena
pimpinan prajurit mereka dikalahkan Dasamuka. Di samping Sumantri, banyak
prajurit Maespati juga gugur di medan laga terkena amukan Dasamuka.
Para istri Arjuna Sasrabahu segera lari kepada suaminya yang
tertidur pulas triwikrama tersebut. Tangis sedih pecah tiada terkira. “Aduh
Paduka. Ketiwasan Patih Suwanda ngemasi melawan Dasamuka,” tangis para istri.
Terperanjat Prabu Arjuna Sasrabahu. Segera iya bangun dan menggeram
menggetarkan dunia. Terjadi banjir hebat karena Sungai Narmada habis dibendung.
"Bojleng. Bojleng.
Siapa yang berani
membuniuh Patih Suwanda. Biar saya klethak weerrrr,” geramnya. Lalu ia segera
berlari kepada Dasamuka. Terjadilah peperangan yang seru antara titisan Wisnu
dan pemuja Siwa. Masing-masing melakukan triwikrama sehingga menjelma menjadi
denawa yang sama-sama besarnya. Tapi tampaknya Dasamuka tidak dapat mengimbangi
kesaktian Arjuna Sasrabahu.
Akhirnya Dasamuka dapat tertangkap lalu diikat dengan panah
rantai dan diseret di bawa keliling kerajaan (digledheg) sebagai pelajaran atas
kelancangan Dasamuka telah ngundhuh wohing pakarti. TANCEP KAYON..