PACITAN TERKINI - Diperkirakan pada abad ke-15 hingga ke-16 Masehi, di masa kepemimpinan Mataram Islam Sultan Raja R. Sutowijoyo, yang juga dikenal sebagai Ngabehi Lor Ing Pasar, Panembahan Senopati Ing Ngalaga Syadin Panoto Agomo, atau Khalifatur Rasyidin atas Bumi Jawa, lahir sebuah tradisi yang diwariskan turun-temurun. Beliau mengajarkan pentingnya pensucian diri dan lingkungan sebagai bentuk penghormatan serta persiapan menyambut Bulan Suci Ramadhan. Tradisi ini dilakukan setiap tahun menjelang datangnya bulan puasa sebagai bentuk kebersihan lahir dan batin.
Tradisi ini diawali dengan mendoakan para leluhur yang telah berpulang ke "Kampung Akhirat" pada bulan Ruwah atau Sya’ban. Doa ini dilaksanakan bersama dalam sebuah kegiatan yang dikenal sebagai "Megengan", yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan tahlil serta sedekah dalam bentuk selamatan atau makan bersama keluarga dan masyarakat sekitar. Setelah prosesi ini, setiap individu melakukan ritual bersih diri atau keramas sebagai persiapan menyongsong ibadah puasa satu bulan penuh.
Nilai filosofis yang terkandung dalam tradisi ini adalah keyakinan bahwa pada bulan Ruwah, para arwah leluhur, dengan izin Allah SWT, dapat bersilaturahmi dengan ahli waris mereka. Doa yang dipanjatkan pada bulan ini dipercaya lebih mudah dikabulkan. Selain itu, bulan Sya’ban dianggap sebagai bulan berkah dan waktu yang tepat untuk melakukan pensucian diri sebelum memasuki Bulan Suci Ramadhan.
Citus adat dan adab ini menjadi bukti terpeliharanya tradisi hubungan manusia dengan lingkungannya serta penghormatan kepada para leluhur. Nilai-nilai ketauhidan tetap dijunjung tinggi, seiring dengan berkembangnya peradaban masyarakat dari masa ke masa hingga ajaran Islam semakin kuat di tanah Jawa. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan berkah bagi kita semua, keluarga, masyarakat, serta para penerus Nabi Muhammad SAW di bumi dan seluruh isinya.
Penulis: Amat Taufan