PACITAN TERKINI - Babad Patjitan mencatat perjalanan sejarah Pacitan dengan tokoh sentralnya, Kiai Setroketipo, seorang pengikut Sultan Mangkubumi setelah perjanjian Giyanti menjadi Sultan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono 1 (1755 - 1792), yang kemudian diangkat sebagai bupati kedua Pacitan dengan gelar Mas Tumenggung Setrowijoyo I sekitar tahun 1757–1812. Ia mendapatkan jabatan tersebut sebagai bentuk penghargaan atas pengabdiannya sebagai punakawan atau penasihat dekat raja.
Catatan ini memberikan sudut pandang unik yang tidak mungkin ditemukan dalam sumber-sumber Barat, termasuk dokumen administratif Belanda seperti Memorie van Overgave. Seorang residen Belanda yang fasih berbahasa Jawa sekalipun tidak akan memahami kedekatan Setrowijoyo I dengan Sultan Yogyakarta atau makna dari gelar "Mas Tumenggung" yang menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan masyarakat pegunungan dan bukan dari keluarga bangsawan.
Babad Patjitan juga mencatat ramalan yang menyebutkan bahwa dinasti Setrowijoyo tidak akan bertahan lama, dan seorang bernama Joyoniman, keturunan Kiai Buwono Keling, guru agama Buddha terakhir sebelum terbunuh oleh para wali akan menjadi penguasa Pacitan. Menyadari hal ini, Setrowijoyo I memanggil Joyoniman dan menugaskannya sebagai modin serta guru agama di Desa Tanjung untuk mendidik para santri. Strategi ini diduga bertujuan untuk menyingkirkan Joyoniman sebagai ancaman politik. Namun, kehadiran Inggris di Jawa pada awal abad ke-19 mengacaukan rencana sang bupati.
Babad Patjitan menunjukkan bahwa sejarah lokal di Nusantara kaya akan detail yang tidak bisa ditemukan dalam sumber kolonial. Catatan ini juga mengungkap bahwa ibu dari Setrowijoyo II adalah seorang selir Sultan Yogyakarta yang diberikan sebagai garwa triman kepada Setrowijoyo I. Hal ini menegaskan bahwa kekuasaan di Pacitan tidak hanya berkaitan dengan administrasi, tetapi juga erat dengan hubungan personal dan politik di dalam istana Kesultanan Yogyakarta.