Pacitan dalam Babad: Kesetiaan, Politik, dan Perubahan Zaman

Teleng Pacitan Tempo Dulu

PACITAN TERKINIBabad Patjitan mengisahkan awal mula sejarah Pacitan, terutama peran para pemimpin lokal yang memiliki keterkaitan dengan Keraton Yogyakarta di bawah pemerintahan Amangkurat IV. Susuhunan Mataram kedelapan ini memerintah pada 1719–1726 dan dianggap sebagai leluhur raja-raja Jawa, karena dari garis keturunannya lahir penguasa Surakarta dan Yogyakarta.

Seusai wafatnya Amangkurat IV, terjadi konflik di internal Mataram Islam. Perang saudara yang dikenal sebagai Perang Suksesi Jawa Jilid II membuat rakyat Jawa terpecah belah. Beberapa pihak mendukung Amangkurat IV, sementara lainnya berpihak kepada Pangeran Balitar, Arya Dipanagara, dan Arya Mataram.

Pangeran Balitar berhasil menarik Jayapuspita, sekutu Arya Dipanagara, ke pihaknya dan menggunakan kekuatan Mojokerto untuk menyerang Madiun. Arya Dipanagara mengalami kekalahan dan mundur ke Baturrana, sebelum akhirnya dikejar oleh pasukan Mataram dari Kartasura dan menyerah di Kartasekar.

Pada Oktober 1719, Mataram, dengan dukungan VOC, berhasil menumpas pemberontakan Arya Mataram di Pati. Ia kemudian ditangkap dan dihukum gantung di Jepara. Setelah itu, tahta Mataram diwariskan kepada putra Amangkurat IV, Raden Mas Prabasuyasa, yang saat itu baru berusia 15 tahun dan bergelar Pakubuwana II.

Pakubuwana II juga mengalami perselisihan dengan Sunan Kuning (cucu Amangkurat III), Pangeran Mangkubumi (saudara kandung), dan Pangeran Sambernyawa (keponakan). Konflik tersebut melemahkan kedaulatan Mataram dan membuka jalan bagi campur tangan Belanda, yang berujung pada Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga.

Pangeran Mangkubumi sempat melakukan perlawanan dan terdesak hingga ke Pacitan. Dalam kondisi sakit, ia mendapat bantuan dari Kiai Setroketipo, yang kemudian diangkat sebagai Bupati Pacitan kedua dengan gelar Mas Tumenggung Setrowijoyo I (1757–1812).

Pacitan memiliki sejarah panjang dengan pengaruh kolonial Belanda. Salah satu tokohnya, Kiai Setroketipo, diangkat menjadi bupati atas restu Sultan Hamengkubuwono I. Pengangkatannya tidak hanya didasarkan pada keahlian dalam pemerintahan, tetapi juga kedekatannya dengan sang sultan. Kisah ini menunjukkan bagaimana seseorang dari latar belakang non-bangsawan dapat memperoleh posisi strategis berkat kesetiaan dan kemampuan yang dimilikinya.

Silakan Baca: 

situs-watupatok-sejarah-pacitan-yang-terlupakan

sejarah-dan-perubahan-situs-pantai-teleng-dan-lapangan-auri-pacitan

sedimentasi-200-tahun-teluk-pacitan-dari-abad-19-abad-21

Dalam perjalanannya, muncul sosok Joyoniman, keturunan seorang guru agama Buddha, yang diramalkan akan menjadi penguasa Pacitan. Untuk meredam potensi ancaman, Setrowijoyo I mengangkatnya sebagai modin di Desa Tanjung. Namun, dinamika politik berubah drastis ketika Inggris datang ke Jawa pada 1811.

Setelah pasukan Inggris mendarat di Pacitan, Setrowijoyo I panik dan meninggalkan kota. Sementara itu, Joyoniman berinteraksi dengan perwakilan Inggris, termasuk John Deans, sekretaris keresidenan Yogyakarta yang fasih berbahasa Melayu. Ketika Inggris pergi, Joyoniman diangkat sebagai kepala Kewedanaan Arjowinangun dengan gelar Ngabehi Pancogomo, yang berarti "Lima Agama."

Pasca kepergian Inggris, Belanda kembali berkuasa dan menggantikan Setrowijoyo II (putra Setrowijoyo I) dengan Pancogomo. Ia dinilai lebih mampu mengelola produksi kopi demi kepentingan kolonial. Pancogomo, yang disebut dalam babad sebagai keturunan Kiai Buwono Keling, kemudian diberi gelar Mas Tumenggung Jogokaryo.

Dalam catatan sejarah, Belanda sempat bertanya kepada Pancogomo apakah ia mampu menghadapi perlawanan Setrowijoyo II. Dengan penuh keyakinan, ia menegaskan tidak akan mundur sejengkal pun. Tak lama setelah itu, Belanda secara resmi mencopot Setrowijoyo II dan mengangkat Pancogomo sebagai bupati.

Babad Patjitan memberikan gambaran mendalam mengenai dinamika kekuasaan di Pacitan dalam transisi dari era Mataram menuju kolonialisme Belanda. Kisah ini menunjukkan bagaimana pemimpin lokal beradaptasi dengan perubahan zaman, sekaligus mempertahankan identitas sosial dan budaya masyarakatnya. Selain itu, babad ini juga mencerminkan perpaduan antara strategi politik, kepercayaan mistis, dan pengaruh kolonial dalam sejarah Pacitan.

Sumber: 

  • Babad Alit Babade Nagara Patjitan
  • Peter B.R. Carey. 2021. Antara Lawu & Wilis

Lebih baru Lebih lama