PACITAN TERKINI - Bismillah, Salam Literasi Sejarah, "Pacitan, Kota Misteri"
Salah satu warisan budaya adiluhung dari Pacitan yang masih lestari hingga kini adalah makanan tradisional "Jenang Sengkolo". Makanan ini dipercaya telah ada sejak abad ke-13 hingga ke-14 Masehi, pada masa kejayaan Kerajaan Wiranti yang berpusat di wilayah Kalak/Donorojo (Pacitan).
Kerajaan ini dipimpin oleh R. Panji / R. Prawiro Yudho / Panembahan Kalak, seorang raja penganut Hindu yang merupakan keturunan Brawijaya Akhir dari Kerajaan Majapahit. Dalam masa transisi menjelang runtuhnya Majapahit akibat berbagai pemberontakan, Panembahan Kalak melestarikan berbagai adat dan adab kerajaan, salah satunya adalah tradisi pembuatan Jenang Sengkolo.
Filosofi Jenang Sengkolo
Jenang ini terdiri dari dua jenis yang selalu disajikan secara berdampingan:
-
Jenang Abang (Merah): Terbuat dari bubur beras atau tepung beras yang dicampur dengan gula merah (gula kelapa). Warna merah melambangkan kekuatan dan kehidupan yang berasal dari sosok "Bapak" atau laki-laki, simbol energi dan keberanian.
-
Jenang Putih: Bubur berwarna putih tanpa campuran gula, melambangkan kesucian dan kasih sayang yang bersumber dari sosok "Ibu" atau perempuan, simbol kelahiran dan kelembutan.
Dua unsur ini mencerminkan kesatuan dan keharmonisan antara laki-laki dan perempuan, serta keseimbangan dalam kehidupan. Jenang Sengkolo menjadi simbol harapan akan keselamatan, keberkahan, dan keseimbangan antara dunia lahir dan batin.
Makna Ritual dan Pelestarian
Jenang Sengkolo disajikan dalam berbagai upacara adat dan keagamaan, seperti:
-
Tasyakuran
-
Bersih Desa
-
Khitanan
-
Kelahiran bayi
-
Awal pembangunan rumah atau gedung
Hingga kini, tradisi ini masih dijalankan di pelosok-pelosok desa Pacitan. Meskipun telah mengalami akulturasi dengan ajaran Islam, nilai-nilai sakral dan filosofi budaya dalam Jenang Sengkolo tetap dijunjung tinggi. Tradisi ini menjadi bukti nyata peradaban luhur masyarakat Pacitan yang mampu merawat warisan leluhur sekaligus menyesuaikannya dengan dinamika zaman.
Penulis: Amat Taufan