Oleh: Amat Taufan
Pacitan — Di sela lekuk kapur pegunungan selatan Jawa, di sebuah dusun kecil bernama Bomo, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, sebuah cerita kuno mengendap dalam ingatan kolektif warga. Cerita itu bukan sekadar dongeng turun-temurun, melainkan jejak sejarah kuliner, spiritualitas, dan filosofi hidup: ikan impun.
Jejaknya berawal dari abad ke-5 Masehi, ketika sebuah kerajaan kuno bernama Kabudan berdiri di tanah ini. Di bawah kepemimpinan Raja Bhrama, seorang penganut ajaran Buddha, kerajaan ini bertahan dalam kesederhanaan. Alam yang tandus dan berbatu kapur tidak membuat rakyat menyerah. Mereka mengolah ladang kering, berburu, dan ketika takdir mengizinkan, menemukan mukjizat kecil dari muara: sekumpulan ikan mungil yang datang di waktu-waktu sakral.
Ikan itu dinamai “Impun”, dari bahasa Jawa yang berarti berkumpul atau berhimpun. Berukuran sekitar lima sentimeter, impun muncul hanya saat musim penghujan bersalin rupa menjadi kemarau. Jumlahnya tak terhitung, seolah ditabur langit dari lautan terdalam, lalu menyusuri sungai menuju gua-gua berair tawar di pinggir pantai selatan. Tak heran jika keberadaannya dianggap sakral — perpindahan dari laut ke sungai menjadi narasi spiritual tersendiri bagi masyarakat Bomo.
Warga menangkap impun dengan “wuwu”, alat jebakan dari anyaman bambu. Setelahnya, ritual dapur dimulai. Ikan-ikan itu dibersihkan, dibumbui dengan garam, cabai rawit, tomat, daun salam, dan belimbing wuluh. Semua dibungkus rapi dengan daun pisang lalu dikukus hingga aromanya menyapa langit-langit rumah. Rasanya gurih, asam segar, dan pedas menyatu dalam gigitan nostalgia. Konon, satu suapan saja cukup untuk mengirim seseorang kembali ke masa kecilnya di desa.
Namun kini, impun semakin langka. Ekosistem terganggu, perubahan iklim tak lagi bersahabat, dan budaya konsumsi cepat membuat ikan mungil ini nyaris terlupakan. Meski begitu, beberapa keluarga di Bomo masih menjaganya, seperti menjaga pusaka. Dalam setiap sajian impun, tersimpan filsafat luhur: bahwa kekuatan bukan datang dari besar atau kecilnya tubuh, tapi dari kemampuan untuk hidup dalam kebersamaan. Impun adalah simbol kekompakan, kesatuan, dan daya tahan sebuah komunitas.
Cerita tentang ikan impun adalah cerita tentang ketahanan budaya dan pangan, tentang bagaimana masyarakat lokal menavigasi keterbatasan alam dengan kearifan. Di era modern yang serba instan, kisah ini mengingatkan kita pada satu hal: bahwa terkadang, rahasia kebahagiaan dan ketangguhan hidup tersembunyi dalam hal-hal paling sederhana seperti sekumpulan ikan kecil yang datang hanya sekali setahun.
Pacitan tidak hanya menyimpan misteri di balik gua dan lautannya, tapi juga dalam kisah rasa yang diwariskan turun-temurun. Ikan impun, yang diolah menjadi Bothok bukan sekadar santapan, tapi jendela menuju masa lalu yang bersahaja dan penuh makna.