Esai Kenangan: “Bau Oli dan Filosofi Hidup”


(Mengenang 7 Tahun Lalu di Bengkel Rafid Motor, 18 Juli 2018)

Ada aroma khas yang sulit dilupakan dari masa lalu — bukan parfum mewah atau harum bunga taman, melainkan bau oli yang menempel di udara bengkel sore itu, 18 Juli 2018. Hari itu, aku masih mahasiswa. Masih idealis, masih bersemangat menata masa depan yang belum punya bentuk. 

Siapa sangka, percakapan sederhana di sebuah bengkel kecil bernama Rafid Motor justru menanamkan pelajaran hidup yang akan terus aku bawa hingga kini, tujuh tahun kemudian.

Aku datang bersama seorang teman — mahasiswi UIN Surabaya jurusan Ekonomi Syariah, semester lima waktu itu. Kami datang bukan untuk memperbaiki kendaraan semata, tetapi seperti tanpa sengaja dipertemukan dengan seorang sosok yang rendah hati namun sarat makna kehidupan — Pak Agus, atau yang akrab disapa pelanggan dengan nama Yanto.

Bajunya belepotan oli, tangannya hitam karena bekas mesin, namun tutur katanya lembut dan pikirannya luas. Tak ada jarak antara kami, mahasiswa, dan beliau yang sehari-hari bekerja sebagai montir. Di balik wajah sederhana itu, tersembunyi jiwa pendidik, pemikir, sekaligus sahabat bagi siapa saja yang sudi mendengarkan.

Hidup itu jangan dikerjain, tapi kerjain dengan hati.

Kalimat itu meluncur pelan dari bibirnya, disertai senyum tulus di antara suara mesin motor yang meraung. Sederhana, tapi penuh makna. Aku baru menyadari bahwa kalimat itu lebih dalam daripada banyak teori manajemen kehidupan yang pernah kubaca di buku kuliah.

Pak Agus tidak banyak bicara soal jabatan atau gelar. Ia bercerita bahwa hidupnya berpindah-pindah peran — montir, dosen, sopir, bahkan tokoh masyarakat. Tapi ada satu benang merah dari semua perannya: ia selalu menjadi manusia yang apa adanya.

Tidak sok pandai, tidak sok hebat, tidak mengada-ada. Dalam kesederhanaannya, ada kebijaksanaan yang lahir dari kerja keras dan ketulusan.

Kami berbincang seperti teman lama, tidak ada sekat dosen dan mahasiswa, tidak pula formalitas yang kaku. Suasana cair, seolah waktu berhenti di antara suara percikan las dan alunan obrolan yang mengalir seperti air pegunungan. Aku masih ingat bagaimana teman perempuanku, Echa, bercanda dengan Pak Agus dengan santai — tanpa rasa canggung, seolah sedang berbincang dengan kakak sendiri. Itulah keistimewaan beliau, membuat siapa pun merasa diterima tanpa menilai dari status, latar belakang, atau penampilan.

Sore itu, bengkel Rafid Motor seakan menjadi ruang kelas kecil kehidupan. Di sana aku belajar bahwa ilmu bukan hanya berasal dari bangku kuliah atau buku, tetapi dari sikap hidup seseorang yang jujur dan tulus.
Jangan bikin orang lain rugi. Tapi kalau kamu diganggu, ya jangan diam. Hidup itu saling menghormati, bukan saling menindas,” katanya, menatap ke arah mesin motor yang sedang ia perbaiki.

Tujuh tahun sudah berlalu. Dunia berubah, pandemi datang dan pergi, usaha bengkel mungkin pernah redup, tapi nilai-nilai yang kutemui di hari itu masih menyala di hati. Mungkin kini para alumni PBSI STKIP PGRI Pacitan yang dulu datang ke bengkel sudah punya anak berusia tujuh tahun. Waktu berjalan begitu cepat, tapi kenangan tentang sosok Pak Agus tetap melekat.

Kini, setiap kali mencium aroma oli dari bengkel yang kulalui di jalan, aku selalu teringat hari itu  hari di mana seorang montir yang juga dosen mengajarkan bahwa hidup tidak perlu berlebihan.

Cukup menjadi manusia yang tidak merugikan orang lain, bekerja dengan hati, dan menghargai waktu serta sesama. Karena pada akhirnya, hidup yang sederhana dan tulus akan menemukan keindahannya sendiri pada waktunya.

“Akan indah pada waktunya,” ucap Pak Agus waktu itu, sambil tersenyum.
Dan kini, tujuh tahun kemudian, aku benar-benar memahami makna kalimat itu.

Lebih baru Lebih lama