(Karya fiksi inspiratif tentang kehilangan, persahabatan, dan menemukan makna hidup kembali)
Langit sore di Pacitan tampak lembut. Jingga yang memudar perlahan seperti sapuan kuas di atas kanvas tua. Aku menatapnya diam-diam dari balik kaca jendela bus sekolah yang membawa kami ke lokasi kemah penerimaan tamu ambalan. Di luar, pemandangan sawah dan perbukitan seolah menenangkan hati, tapi di dalam dada, masih ada sesuatu yang hampa—lubang kehilangan yang tak kunjung tertutup.
Namaku Radeva Rasyafa, gadis berusia tujuh belas tahun yang sedang belajar berdamai dengan masa lalu. Dua tahun lalu, kecelakaan mobil merenggut kedua orang tuaku saat perjalanan pulang dari acara perkemahan Pramuka di Batu. Mobil mereka tergelincir di jalan basah dan jatuh ke jurang. Sejak itu, kata “senja” selalu membuat dadaku sesak. Karena senja terakhir yang kulihat bersama mereka adalah saat kami tertawa di depan tenda sambil memanggang jagung. Kini, setiap kali senja datang, yang tersisa hanya sunyi dan rindu.
Namun, hidup tidak berhenti hanya karena seseorang pergi. Begitulah kata Bude Ratmi, satu-satunya keluarga yang merawatku setelah kejadian itu. Atas dorongannya, aku kembali aktif di kegiatan Pramuka—tempat yang dulu penuh kenangan. Meski awalnya berat, aku tahu di sanalah aku bisa belajar menjadi kuat lagi.
🌿
Hari pertama kemah berjalan sibuk. Aku dipercaya menjadi bendahara panitia, pekerjaan yang membuatku sering disapa “emak rempong” oleh teman-teman. Tapi aku tidak marah. Justru, mengatur uang dan catatan pengeluaran membuatku merasa berguna, seolah ada yang bisa kukendalikan dalam hidup yang seringkali tak bisa kutebak.
Ketua panitia kami bernama Farel Satya Pradana, siswa paling populer di sekolah. Semua orang mengenalnya sebagai sosok tegas, berwibawa, tapi jarang tersenyum. Ia seperti batu karang—kukuh tapi sepi. Entah mengapa, setiap kali aku menatap matanya, aku melihat kesedihan yang tak terucapkan.
Aku tertawa kecil. Itu mungkin pertama kalinya aku melihat sisi lain dari Farel—hangat, tapi tersembunyi di balik dingin sikapnya.
🌅
Menjelang malam, kami menyiapkan kegiatan caraka malam. Semua peserta dibagi kelompok dan diberi peta. Aku bertugas di pos terakhir, tapi karena ingin memastikan jalur aman, aku berjalan sendirian lebih dulu. Di tengah hutan pinus yang mulai gelap, langkahku terhenti. Semua arah terlihat sama. Angin meniup dedaunan, dan suara jangkrik terdengar seperti bisikan. Panik mulai menyeruak.
“Tenang, Dev… kamu cuma tersesat, bukan terhilang,” gumamku, berusaha menenangkan diri. Tapi air mataku justru jatuh. Dalam hati aku berkata, “Ayah, Ibu… aku takut.”
🌌
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya mendengarkan, membiarkan keheningan menjadi saksi. Kami sama-sama kehilangan seseorang yang tak tergantikan.
🔥
Malam berikutnya, acara api unggun dimulai. Semua peserta duduk melingkar, bernyanyi dan bertepuk tangan. Namun aku memilih duduk agak jauh, menatap nyala api yang menari di mataku.
Aku menunduk, pipiku hangat. Entah oleh api, atau oleh perasaan yang tiba-tiba tumbuh.
🌤️
Di halaman pertama, tertulis tulisan tangan yang lembut:
“Kehilangan bukan berarti berakhir. Kadang, itu awal dari pertemuan yang lebih indah.”
Senja turun perlahan di atas bumi Pramuka. Di bawah langit yang sama, dua jiwa yang terluka belajar menyembuhkan diri—bukan dengan melupakan, tapi dengan saling menguatkan.
Dan sejak hari itu, setiap kali senja datang, aku tidak lagi melihatnya sebagai perpisahan.
Bagiku, senja adalah janji—bahwa setelah gelap, akan selalu ada cahaya.