MrJazsohanisharma

Kethek Ogleng dan Harmoni Alam: Merajut Asa di Tengah Ancaman Ekologis


PACITANTERKINI ||  Di era kapitalisme, materialisme, dan hedonisme, manusia dihadapkan pada tuntutan untuk terus berkembang, sementara alam semakin terancam oleh eksploitasi tanpa batas. Namun, di tengah gempuran perubahan ini, semoga dengan adanya seni pertunjukan  Kethek Ogleng, sebuah karya seni yang melibatkan proses unik dari otak kanan manusia, tempat inovasi, kreativitas, dan solusi bersemayam.

Kethek Ogleng: Ekspresi Kreatif dari Proses Berpikir

Kethek Ogleng, ciptaan Sutiman atau Sukiman, adalah produk dari proses berpikir yang menggabungkan inovasi, kreativitas, dan solusi. Dalam gerakannya yang lemah gemulai, Kethek Ogleng menjadi simbol perlawanan terhadap era modern yang serba cepat dan bermaterialisme tinggi. Sebagai bentuk seni, Kethek Ogleng melibatkan ide dan gagasan yang lahir dari pengamatan alam, memberikan sentuhan harmoni antara manusia dan lingkungan.

Akal Pikiran dan Kecerdasan Ekologis Manusia

Akal pikiran manusia memiliki keunikan tersendiri, menjadi pembeda di antara penulis dan seniman. Melalui Kethek Ogleng, Sutiman menciptakan sebuah karya yang merefleksikan keunikan manusia dan kecenderungan alamiahnya untuk menciptakan sesuatu yang indah dan bermakna. Dalam struktur lahir dan batin, keunikan penulis tercermin dalam setiap gerakan Kethek Ogleng.

Merajut Asa dalam Gebyar Kethek Ogleng

Gebyar Kethek Ogleng tidak hanya sekadar hiburan atau pertunjukan seni. Melainkan, ia menjadi persembahan yang mengajak manusia untuk merajut asa di tengah ancaman ekologis. Dalam Kethek Ogleng, kita dapat menemukan gambaran keasrian alam tahun 1962 di Desa Tokawi yang kini terancam oleh pembangunan waduk. Kethek Ogleng menjadi narasi visual tentang kehidupan yang damai, di mana manusia dan alam hidup berdampingan dengan harmoni.

Pola Pikir untuk Lestari dan Seimbang

Melalui kisah penciptaan Kethek Ogleng dan wawancara dengan penggiat seni lokal, kita diingatkan akan pentingnya pola pikir manusia yang jernih. Penulis buku "Merajut Asa", Sukisna, merinci bagaimana Kethek Ogleng bukan hanya sekadar tarian, tetapi juga keterlibatan dalam melestarikan ekosistem lokal. Dengan meningkatkan kecerdasan ekologis, manusia dapat hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya.

Ancaman Terhadap Lingkungan dan Kehidupan Masyarakat

Waduk Tukul yang akan dibangun di wilayah sekitar Desa Tokawi membawa potensi perubahan besar. Ancaman terhadap ekosistem lokal, peningkatan risiko banjir, dan perubahan cara hidup masyarakat menjadi sorotan utama. Sumber daya alam yang terbatas perlu dijaga, dan pola pikir manusia harus berfokus pada keberlanjutan.

Kethek Ogleng sebagai Pencerminan Asa

Dalam gambaran Kethek Ogleng, tergambarlah asa untuk hidup berdampingan dengan alam. Tiga penari yang menyerupai kera menemani kisah asmara dua sejoli. Sebuah gambaran indah yang menceritakan tentang kebahagiaan, kesetiaan, dan keharmonisan. Namun, di balik keindahan ini, tersembunyilah pesan untuk lebih menjaga alam dan menyelamatkan sumber daya yang semakin terancam. (Hendriyanto)

 

Lebih baru Lebih lama