PACITAN TERKINI || Di tengah kesibukan kehidupan modern, makanan tradisional selalu menjadi pengingat akan akar budaya dan kearifan lokal yang melekat erat pada masyarakat kita. Salah satu hidangan sederhana namun penuh cerita dari Pacitan adalah gethuk telo, sebuah camilan tradisional berbahan dasar ketela pohon.
Ketela pohon, atau yang akrab disebut telo oleh masyarakat Pacitan, tumbuh subur di lahan-lahan kritis kawasan ini. Keberadaan tanaman ini bukan sekadar komoditas, tetapi juga bagian dari pengetahuan tradisional yang diwariskan turun-temurun. Salah satunya adalah cara mengolahnya menjadi gethuk, camilan klasik yang menyimpan kenangan sekaligus cita rasa autentik.
Musim hujan di Pacitan selalu identik dengan secangkir teh panas dan sepiring gethuk telo. Bagi banyak orang, momen menikmati gethuk di tengah gemericik hujan adalah cara sempurna untuk melepas lelah. Rasa manis alami dari ketela pohon, berpadu dengan gurihnya parutan kelapa yang ditaburi sejumput garam, menciptakan kombinasi rasa yang sulit dilupakan.
Di Pasar Arjowinangun, Pacitan, seorang penjaja gethuk bernama Bu Tini menjadi salah satu pelestari tradisi ini. Setiap pagi, mulai pukul 04.30 WIB, Bu Tini sudah siap menyambut pembeli dengan gethuk segar yang ia buat sendiri. Posisi strategis lapaknya di pintu masuk pasar membuatnya mudah ditemukan, bahkan oleh pendatang baru.
Bu Tini menawarkan tiga varian gethuk: putih, merah muda, dan cokelat. Dua varian pertama tersedia setiap hari, sedangkan gethuk cokelat hanya dibuat berdasarkan pesanan khusus. Harga yang ramah kantong—mulai dari Rp1.000 per potong—membuat gethuk ini tetap terjangkau untuk semua kalangan.
“Gethuk buatan Bu Tini ini berbeda dari yang lain. Rasanya selalu konsisten sejak dulu,” ungkap seorang pembeli setia.
Salah satu keunikan gethuk Bu Tini adalah cara penyajiannya. Di tengah tren modern yang mengandalkan kemasan plastik, Bu Tini tetap setia menggunakan daun jati atau daun pisang sebagai pembungkus. Tidak hanya ramah lingkungan, daun ini juga memberikan aroma khas yang memperkaya rasa gethuk.
Taburan parutan kelapa di atasnya menambah cita rasa otentik, menciptakan harmoni gurih dan manis yang sempurna. Tidak heran jika gethuk Bu Tini selalu laris, terutama di akhir pekan saat pengunjung pasar lebih ramai.
Bagi masyarakat Pacitan, gethuk bukan hanya sekadar makanan. Ini adalah bagian dari identitas budaya yang memperlihatkan kecerdasan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam. Ketela pohon, yang sering dianggap sebagai tanaman "kelas bawah," disulap menjadi camilan lezat dengan nilai ekonomi dan budaya yang tinggi.
Jadi, jika Anda sedang berada di Pacitan, jangan lewatkan kesempatan untuk mencicipi gethuk telo khas Bu Tini di Pasar Arjowinangun. Sepotong gethuk bukan hanya soal rasa, tetapi juga pengalaman menikmati tradisi yang terus hidup di tengah arus modernisasi. Nikmati sepotong tradisi dalam setiap gigitan.
Nama: Clara Devinta