PACITAN TERKINI - Bismillah. Salam Literasi Sejarah. Pacitan Kota Misteri. Pacitan, sebuah wilayah di ujung barat daya Jawa Timur yang dikenal dengan keindahan alamnya, ternyata juga menyimpan kekayaan sejarah dan tradisi yang bernilai tinggi. Salah satunya adalah tradisi Kupatan Syawalan, sebuah budaya Islam yang telah mengakar sejak abad ke-15 M dan masih lestari hingga kini, meski mulai terlupakan oleh sebagian masyarakat.
Kupatan Syawalan diyakini bermula pada masa ketika Kerajaan Wiranti atau Kalak di wilayah Donorojo, Pacitan, yang saat itu dipimpin oleh R. Prawiro Yudho atau Pangeran Kalak, mulai mengalami perubahan besar akibat gelombang dakwah Islam. Kerajaan ini yang sebelumnya menganut Hindu-Buddha, kemudian ditaklukkan oleh pasukan dari kerajaan Islam seperti Demak, Tegal, Slawi, dan Cirebon.
Dalam proses Islamisasi ini, peran para alim ulama sangatlah penting. Tokoh-tokoh seperti Kyai Ageng Petung (Siti Geseng), Kyai Ageng Posong, serta Syekh Maghribi (juga dikenal sebagai Syekh Maulana Ishaq, Syekh Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar) menjadi pionir dalam menyebarkan ajaran Islam di Pacitan dan sekitarnya. Mereka bergerak di bawah koordinasi Wali Songo yang berpusat di Giri Kedaton, Gresik, dipimpin oleh Sunan Giri (Raden Paku).
Sebagai bagian dari dakwah kultural, para wali memperkenalkan tradisi Kupatan Syawalan, yang dirayakan pada hari ketujuh setelah Idul Fitri. Masyarakat membuat ketupat dari janur (daun kelapa muda) yang diisi beras dan direbus hingga matang. Ketupat ini kemudian disajikan bersama lauk seperti opor ayam, sayur nangka muda (gori), atau manisa (labu siam). Tradisi ini mengandung filosofi mendalam: selain sebagai bentuk rasa syukur, ketupat menjadi simbol penguatan ukhuwah Islamiyah — saling memaafkan setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa.
Makna simbolik dari angka tujuh juga tidak terlepas dari kepercayaan bahwa bumi diciptakan oleh Allah SWT dalam tujuh hari. Maka, setelah tujuh hari Syawal, umat Islam diharapkan kembali suci, seiring dengan bersihnya bumi dan langit oleh "Nur Ilahi" yang secara simbolik direpresentasikan lewat janur yang membungkus ketupat.
Menariknya, kupatan juga mencerminkan teknologi pengolahan makanan yang telah berkembang pada masa itu. Penggunaan janur sebagai pembungkus ternyata dapat mengawetkan nasi lebih lama, menunjukkan kearifan lokal dalam mengelola pangan secara berkelanjutan.
Hingga hari ini, sebagian masyarakat Pacitan masih mempertahankan Kupatan Syawalan sebagai bentuk pelestarian budaya sekaligus upaya memperkuat identitas keislaman mereka. Namun tak dapat dipungkiri, pengaruh zaman telah membuat sebagian generasi melupakannya.