PACITAN TERKINI || Di suatu sore yang teduh, aku dan Fatma duduk di tepi danau yang begitu tenang, dengan pemandangan hijau dan air yang memantulkan cahaya lembut dari langit. Suasana di sini benar-benar damai mungkin inilah tempat yang selama ini kucari, jauh dari hiruk-pikuk dan kesibukan.
Aku bergumam sendiri sambil melihat permukaan air yang diam. "Pasti danau yang tenang dan sangat hijau ini ada buayanya,” kataku pelan, lebih pada diriku sendiri.
Fatma melirikku dengan heran. “Hah, ngomong apa kamu, Lis?”
Aku tersenyum, mengangkat bahu. "Nggak, aku cuma ngungkapin yang ada di pikiran. Hehe… ayo kita ke gubuk itu, duduk sambil makan jajan. Sepertinya di sana sejuk banget."
Kami berjalan pelan menuju gubuk kecil di tepi danau. Gubuk itu sederhana, terbuat dari kayu dengan atap jerami, tapi ada pesona tersendiri dalam kesederhanaannya. Dalam perjalanan, kami terus saja berbincang, membahas hal-hal kecil yang terlihat di sekitar.
“Aku kepikiran sesuatu, Lis,” kata Fatma tiba-tiba. “Bagaimana ya, kalau danau ini tiba-tiba pasang? Semua bisa rusak, gubuk-gubuk kecil, jalan setapak, semua yang indah di sini bisa hilang…”
Aku terdiam sejenak, memandang permukaan air yang masih tenang. “Iya, sayang sekali kalau rusak. Tempat ini damai sekali, cocok buat bersantai jauh dari keramaian.”
Setelah duduk di gubuk itu, kami mengeluarkan bekal dan menikmati jajanan yang kami bawa sambil melihat pemandangan. Aku tersenyum melihat hiasan-hiasan dari limbah plastik di sekitar danau, yang ternyata sudah didaur ulang menjadi karya seni kecil yang menambah keindahan tempat ini.
“Di sini juga bersih dan terjaga,” kataku. “Nggak ada sampah berserakan. Semua sampah didaur ulang jadi hiasan yang cantik. Kreatif sekali, ya!”
“Iya, semoga makin banyak orang yang sadar dan mau mendaur ulang sampah seperti ini. Selain bisa memperindah, jadi bermanfaat juga,” sahut Fatma penuh harap.
Kami memandangi pohon kelapa yang berjajar di tepi danau, kokoh dan rindang. Pohon-pohon itu tidak hanya mempercantik pemandangan, tapi juga menambah kesejukan udara di sekitar. Angin lembut berhembus, membawa aroma segar dari danau dan pepohonan.
“Pohon kelapa di sini nggak cuma indah, ya, tapi juga bikin suasana jadi makin alami dan asri,” kataku sambil menarik napas panjang, menikmati udara segar yang berhembus.
Fatma tertawa, menatap pohon kelapa di atas kami. “Ih, tapi aku jadi takut kejatuhan kelapa, deh. Kalau tiba-tiba jatuh, bisa bahaya juga, ya?” Ucapannya membuat kami berdua tertawa terbahak-bahak, membayangkan hal yang tidak-tidak.
Kami duduk di gubuk itu, menikmati hembusan angin dan ketenangan yang jarang sekali kudapatkan. Kayu-kayu yang menopang gubuk ini tampak kokoh, meskipun sudah terlihat tua dan usang. Ada kesan hangat dan rustik yang menambah kenyamanan tempat ini.
“Kayaknya, kayu gubuk ini cukup kokoh, ya,” ujarku, sambil mengamati rangka gubuk yang berderak pelan setiap kali angin kencang bertiup. “Tapi tetap saja kita harus hati-hati, terutama kalau angin kencang atau hujan deras.”
Fatma mengangguk, matanya memandang jauh ke danau. “Iya, tapi sejuk banget di sini. Anginnya pas, nggak terlalu panas.”
Sore terus berlalu, matahari semakin rendah di ufuk barat. Cahaya jingga mulai menari di permukaan danau, memantulkan warna-warni indah yang menyejukkan hati. Kami terdiam sejenak, tenggelam dalam keindahan yang hanya bisa dinikmati jika benar-benar meluangkan waktu.
Aku berpaling pada Fatma, yang sedang asyik memandangi danau dengan senyum tipis di bibirnya. Di tengah percakapan kami yang mengalir, kami menyadari satu hal: kebahagiaan yang sesungguhnya terkadang tak perlu dicari jauh-jauh, hanya perlu menikmati momen kecil di sekitar kita.
Matahari perlahan tenggelam, meninggalkan sisa-sisa sinar yang menghangatkan. Dalam keheningan itu, aku merasa tenang, damai, dan bahagia. Dan sore di tepi danau yang tenang ini akan selalu menjadi cerita manis dalam ingatanku.
Penulis: Elissya Tyas Ardistina