Diperkirakan berlangsung sejak abad ke-13 hingga ke-14 Masehi, ritual ini tumbuh di bawah bayang-bayang kekuasaan Kerajaan Wiranti yang berpusat di Kota Kalak, Donorojo – wilayah Pacitan yang kala itu menjadi poros kekuasaan di selatan tanah Jawa. Di bawah kepemimpinan R. Prawiro Yudho atau yang juga dikenal sebagai Pangeran Kalak, bersama permaisurinya Dewi Sekartaji (dikenal pula sebagai Shri Ratu Purbo atau Kencono Wungu), masyarakat kala itu menganut agama Hindu dan menjalani kehidupan dengan rasa syukur yang mendalam terhadap alam semesta.
Dalam kehidupan spiritual mereka, dikenal sebuah tradisi pensucian tempat-tempat yang dianggap keramat—lokasi-lokasi sakral yang diyakini menjadi titik temu antara alam manusia dan kekuatan tak kasat mata. Di sanalah ritual Sesaji Sukerto digelar. Sesaji ini tidak sembarangan. Ia disiapkan dengan hati yang bersih dan niat yang suci.
Di atas Encek, wadah dari pelepah pisang Raja, tersaji aneka rupa makanan: Jenang Sengkolo (bubur merah dan putih sebagai simbol keseimbangan hidup), ayam panggang, jenang jadah, lawuk pauk beragam, degan hijau, kopi dan teh pahit tanpa gula, hingga polo pendem atau umbi-umbian kukus. Tak lupa, seikat Damiyati (gagang padi) sebagai perlambang hasil bumi, dan kembang pewangi warna-warni sebagai pengundang ketenangan.
Semua itu bukan sekadar makanan, tapi simbol: dari permohonan perlindungan, syukur atas rezeki, hingga harapan untuk menolak segala bentuk balak (bencana) yang mengintai seseorang maupun komunitas.
Ritual ini lazim dilakukan saat bulan Jawa Longkang dan Asyura, atau kapan pun seseorang memiliki hajat tertentu. Di titik inilah, budaya menjadi doa; adat menjadi bentuk penghambaan kepada Yang Maha Kuasa.
Zaman terus bergulir. Pada abad ke-14 hingga 15 Masehi, datanglah dakwah Islam ke pesisir selatan Jawa. Bukannya menolak, masyarakat Kalak dan sekitarnya menyambut dengan bijak. Ritual Sesaji Sukerto pun mengalami akulturasi. Nuansa Hindu digantikan doa-doa Islami. Para alim ulama dilibatkan. Upacara adat ini menjadi bagian dari Doa Tolak Balak, dengan ruh yang tetap sama: berserah kepada Tuhan, menyucikan niat, dan memohon keselamatan bagi jagad kecil dan besar.
Filosofinya tetap kokoh: bahwa segala rezeki, panen bumi, dan keselamatan hidup adalah pemberian Gusti Allah SWT. Manusia hanya makhluk kecil, yang bisa berdoa, bersyukur, dan menjaga harmoninya dengan alam.
Kini, ratusan tahun berselang, Sesaji Sukerto masih hidup di tengah masyarakat Pacitan. Diadakan diam-diam atau terbuka, ritual ini tetap dianggap keramat. Bukan untuk dipertontonkan, tapi untuk dihayati. Di sinilah, Pacitan benar-benar layak disebut sebagai Kota Misteri, tempat adat dan adab bersatu dalam satu tarikan napas sejarah.
Sesaji ini bukan hanya tradisi. Ia adalah cermin dari kesadaran manusia Jawa akan kekuatan takdir dan takzim, antara manusia dengan Tuhannya, antara alam dengan penghuninya.
Pacitan bukan sekadar kota. Ia adalah narasi panjang tentang manusia, alam, dan spiritualitas. Di balik ritual "Sesaji Sukerto", tersimpan pesan agung: bahwa hidup adalah perjalanan untuk senantiasa kembali kepada-Nya—dengan cara yang penuh hormat, melalui budaya yang telah diwariskan para leluhur.
Penulis: Amat Taufan