![]() |
Prof. Bani Sudardi |
Rama Tambak Dan Wibisana
Tundhung (Lanjutan Banjaran Dasamuka)
Oleh: Prof. Bani Sudardi
Dewan Pakar Senawangi/
Universitas Sebelas Maret
“Kalau saya hanya terserah Gusti saja,” kata Prahasta. “Kalau menurut saran saya, serahkan saja dewi Sinta segera agar kita terhindar dari perang besar. Ini saran saya. Tetapi saya hanya menunggu dhawuh Gusti. Seluruh hidup saya untuk Alengka. Saya siap menyerahkan jiwa raga saya buat Gusti Prabu. Kawula noknon” kata Patih Prahasta.
“Izin menyela Kanda
Prabu,” kata Dewi Sarpanaka. “Kalau menurut saya, martabat dan kehormatan Kanda
Prabu harus dijaga. Seluruh dunia tahu Kanda Prabu itu raja besar. Hanya
masalah wanita saja masalah sepele. Ini Harus dipertahankan. Apalagi hanya
musuh monyet-monyet jelek. Tidak ada artinya semua itu. Jangankan monyet, dewa
sekalipun hancur lebur berhadapan dengan Kanda Prabu,” kata Sarpanaka
bersemangat. “Jangan lembek. Tunjukan keperwiraan Kandha Prabu,” lanjutnya.
“Aduh Kakang Dasamuka,”
Kumbakarna menyela. “Apa tidak malu raja besar seperti kakang perang remeh
hanya rebutan wanita. Seperti jagat ini hanya setelapak tangan. Aduh Kakang.
Kembalikan saja Dewi Sinta untuk kehormatan negeri kita. Kawula noknon,” tangis
Kumbakarna.
“Saya kira tidak ada
salahnya kata-kata Kakang Kumbakarna,” Wibisana menyela. “Di mana kehormatan
Kanda Prabu? Kanda raja besar, tetapi masak mencari istri saja menculik istri
morang di tengah hutan. Padahal Kandha Prabu bisa menikah dengan 10 anak raja
taklukan. Apa gunanya Kandha Prabu. Hanya hawa nafsu yang Kandha Prabu
turutkan,” kata Wibisana.
Tidak kuat hati Dasamuka
mendengar kata adiknya. Diambilnya patumangan yang ada disampingnya.
Dilemparkannya ke wajah Wibisana. Pangeran itu sigap menghindar. Grombyang,
patumangan jatuh ke lantai.
“Baik Kakang. Ini tidak
berarti aku tidak cinta tanah air Alengka. Saya pergi karena menghindari
Angkara murka,” katanya Wibisana.
Matanya berkaca-kaca sedih. Ia sangat memprihatinkan negerinya yang
diliputi angkara murka.
“Adhuh adi. Pangestuku ya
Adhi,” Kumbakarna menangis. “Ini harus bagaimana? Bagaimana pun juga Ngalengka
ini tumpah darahku. Apa bukan pengkhianat kalau saya harus meninggalkan negeri
ini. Sementara angkara murka meraja lela di negeri tercinta,” tangis
Kumbakarna.
Lêng-lênging driya mangu
mangu ,
mangun kung kandhuhan
rimang ,
lir léna tanpa kanin ,
yèn tan tulusa mêngku
utama nira
Oooooongggg
Ketika itu Sri Rama
sedang bingung bagaimana membangun jembatan menuju Alengka. Padahal jarak India
ke Alengka paling dekat itu ada 2124 kilometer 29 meter. Bagiamana memobilsasi
jutaan kera yang beragam itu. Maka Sri Rama mengeluarkan panah Bramasta.
Maksudnya laut akan dikeringkan agar monyet-monyet bisa menyebarang. Syukurlah
segera muncul Dewa Baruna, dewa lautan.
“Lalu harus bagaimana
wahai Dewa Baruna?” keluh Sri Rama.