Rama Tambak Dan Wibisana Tundhung (Lanjutan Banjaran Dasamuka)

Prof. Bani Sudardi

Rama Tambak Dan Wibisana Tundhung (Lanjutan Banjaran Dasamuka)

Oleh: Prof.  Bani Sudardi

Dewan Pakar Senawangi/ Universitas Sebelas Maret

 Di Alengka sudah tersiar kabar jutaan pasukan kera sudah siap di seberang negeri. Pasukan tersebut belum bisa menuju Alengka terhalang Samodra India. Laporan telik sandi, Sri Rama sedang membangun jembatan menuju Alengka. Seluruh rakyat menginginkan kedamaian. Mereka menyayangkan sikap ratu gustinya. Tidak patut, menurut mereka, terjadi perang karena memperebutkan putri. Di manapun perang hanya akan membawa kehancuran kedua belah pihak. Perang pasti membaa korban. Tetapi, semua takut berkata-kata. Takut memperingatkan Prabu Dasamuka. Semua orang paham Prabu Dasamuka itu emosional. Tidak boleh ada yang menghalangi kehendaknya.  Semua orang takut

 Di pasewakan agung Ngalengka sudah pepak andher para nayaka dan wadya bala. Sri Prabu Dasamuka lenggah siniwaka ing dhampar kencana. Prabu Dasamuka dihadap Patih Prahasta, Putri Agung Sarpanaka, Pangeran Wibisana, Pangeran Kumbakarna, segenap denawa dan diyu. Ada rapat penting hari ini.

 “Segenap punggawa Ngalengka. Ini ada masalah di negeri kita. Menurut telik sandi berjuta-juta prajurit kera sudah siap mau menyeberang ke Alengka. Bagaimana ini Paman Patih Prahasta?” kata Dasamuka.

“Kalau saya hanya terserah Gusti saja,” kata Prahasta. “Kalau menurut saran saya, serahkan saja dewi Sinta segera agar kita terhindar dari perang besar. Ini saran saya. Tetapi saya hanya menunggu dhawuh Gusti. Seluruh hidup saya untuk Alengka. Saya siap menyerahkan jiwa raga saya buat Gusti Prabu. Kawula noknon” kata Patih Prahasta.

 

“Izin menyela Kanda Prabu,” kata Dewi Sarpanaka. “Kalau menurut saya, martabat dan kehormatan Kanda Prabu harus dijaga. Seluruh dunia tahu Kanda Prabu itu raja besar. Hanya masalah wanita saja masalah sepele. Ini Harus dipertahankan. Apalagi hanya musuh monyet-monyet jelek. Tidak ada artinya semua itu. Jangankan monyet, dewa sekalipun hancur lebur berhadapan dengan Kanda Prabu,” kata Sarpanaka bersemangat. “Jangan lembek. Tunjukan keperwiraan Kandha Prabu,” lanjutnya.

 “Iya iya adiku yang cantik. Betul sekali. Ngalengka ini bukan negeri semabarangan,” timpal Dasamuka.

“Aduh Kakang Dasamuka,” Kumbakarna menyela. “Apa tidak malu raja besar seperti kakang perang remeh hanya rebutan wanita. Seperti jagat ini hanya setelapak tangan. Aduh Kakang. Kembalikan saja Dewi Sinta untuk kehormatan negeri kita. Kawula noknon,” tangis Kumbakarna.

 “Bangsat kamu Kumbakarna. Omonganmu busuk. Mana terima kasihmu kepada negara. Jelas negara dalam bahaya. Ini saya pertahankan Sinta untuk kehormatan Ngalengka. Biar tidak dianggap remeh. Sungguh nggak tahu diuntung. Kamu sudah diangkat jadi punggawa. Sudah jadi pejabat. Tapi mana darma baktimu kepada Ngalengka. Drohon.,” kata Dasamuka memerah.

“Saya kira tidak ada salahnya kata-kata Kakang Kumbakarna,” Wibisana menyela. “Di mana kehormatan Kanda Prabu? Kanda raja besar, tetapi masak mencari istri saja menculik istri morang di tengah hutan. Padahal Kandha Prabu bisa menikah dengan 10 anak raja taklukan. Apa gunanya Kandha Prabu. Hanya hawa nafsu yang Kandha Prabu turutkan,” kata Wibisana.

Tidak kuat hati Dasamuka mendengar kata adiknya. Diambilnya patumangan yang ada disampingnya. Dilemparkannya ke wajah Wibisana. Pangeran itu sigap menghindar. Grombyang, patumangan jatuh ke lantai.

 “Drohon. Bajingan. Asu. Goblooooog,” Dasamuka memaki. “Minggat saja kamu dari Alengka. Jadilah anjing buduk. Jadilah kere jalanan,” Dasamuka mengusir Wibisana.

“Baik Kakang. Ini tidak berarti aku tidak cinta tanah air Alengka. Saya pergi karena menghindari Angkara murka,” katanya Wibisana.  Matanya berkaca-kaca sedih. Ia sangat memprihatinkan negerinya yang diliputi angkara murka.

 “Kakang Kumbakarna. Aku nyuwun pamit ya Kakang,” katanya dengan bibir gemetar.

“Adhuh adi. Pangestuku ya Adhi,” Kumbakarna menangis. “Ini harus bagaimana? Bagaimana pun juga Ngalengka ini tumpah darahku. Apa bukan pengkhianat kalau saya harus meninggalkan negeri ini. Sementara angkara murka meraja lela di negeri tercinta,” tangis Kumbakarna.

 “Kumbakarna. Tidak usah bisik-bisik, Kalau kamu mau minggat segeralah minggat. Tiak ada gunanya kau di sini,” bentak Dasamuka.

 Wibisana dan Kumbakarna lalu meninggalkan pasewakan agung. Tergopoh-gopoh langkahnya. Tiada menoleh lagi kedua orang itu. Kumbakarna menuju ke padepokan Pleburan Gangsa tempat ia pernah bertapa dahulu. Niatnya adalah bertapa tidur. Tidak ingin melihat Angkara Murka kakaknya merajalela. Sementara Wibisana pergi ke perbatasan negara Alengka.

 Niatnya ingin mengabdi kepada titisan Wisnu untuk ikut membasmi Angkara Murka di atas dunia. Meskipun ia tahu, sumber Angkara Murka itu adalah kakaknya sendiri. Terjadi pertarungan yang hebat di dalam dada Wibisana antara cinta kepada saudara dan cinta kepada kebenaran. Keraguan kadang juga muncul dalam kondisi seperti itu. Dalam dunia pedalangan, kondisi Wibisana ini diceritakan dengan suluk sebagai berikut.

 Hoooonggg

Lêng-lênging driya mangu mangu ,

mangun kung kandhuhan rimang ,

lir léna tanpa kanin ,

yèn tan tulusa mêngku utama nira

Oooooongggg

 Sungguh hati menjadi ragu-ragu. Terasa seperti membangun duka cita. Bagai mati tanpa luka. Bila tidak ikhlas memangku kebenaran itu. Tetapi Wibisana tidak ragu-ragu lagi. Segera iya terbang menuju kemah Sri Rama di tepi laut diiringi 4 orang raksasa hamba yang setia.

Ketika itu Sri Rama sedang bingung bagaimana membangun jembatan menuju Alengka. Padahal jarak India ke Alengka paling dekat itu ada 2124 kilometer 29 meter. Bagiamana memobilsasi jutaan kera yang beragam itu. Maka Sri Rama mengeluarkan panah Bramasta. Maksudnya laut akan dikeringkan agar monyet-monyet bisa menyebarang. Syukurlah segera muncul Dewa Baruna, dewa lautan.

 “Adhuh Sri Rama, titising Wisnu. Jangan kamu gunakan Bramasta untuk mengeringkan laut. Sia-sia saja. Laut tetap tidak mudah dilewati. Bawah laut itu bergunung-gunung. Nanti semua binatang laut akan mati. Akan banyak korban,” kata Baruna.

“Lalu harus bagaimana wahai Dewa Baruna?” keluh Sri Rama.

 Buatlah jembatan menuju Alengka. Gunakan kekuatan kera untuk menambak laut. Tidak lama kemudian datanglah Wibisana dengan empat orang raksasa pengawal. Kaget lah semua kera termasuk Sugriwa, Anggada, Anila, juga Sri Rama. Melihat raksasa yang mengiringi Wibisana, maka kera-kera berteriak ketakutan dan merasa sudah akan terjadi perang. Sri Rama memerintahkan Hanuman untuk melihat yang terjadi. Maka Hanuman tidak sah lagi, yang datang adalah punggawa Alengka yang bernama Wibisana.

 Bagi Anoman Pangeran ini adalah bapak mertua karena ketika berada di Alengka, Hanoman sempat membangun cinta dengan Trijata yang tidak lain Putri kesayangan Wibisana ini. Maka datanglah Anoman kepada Wibisana lalu mencium tangan Bapa mertua. Hanoman kemudian  menanyakan kehendaknya.

 Wibisana menyatakan akan bergabung dengan pasukan Sri Rama Karena dia sudah diusir oleh Dasamuka. Sri Rama pun menerima kehadiran Wibisana dengan senang hati. Meskipun demikian, Sugriwa merasa risih karena bagaimanapun juga Wibisana adalah adik dari musuh Sri Rama.

 Sri Rama kemudian meminta Wibisana membantu untuk membuat jembatan ke Alengka. Dengan senang hati Wibisana melaksanakan tugas itu. Sebelum pembuatan jembatan dilakukan, Wibisana melakukan pembersihan dasar laut karena dia tahu bahwa banyak mata-mata Dasamuka yang disembunyikan di bawah laut.

 Kemudian ia minta segenap kera dan raksasa pengikutnya untuk membawa gunung-gunung, kayu, batu untuk ditenggelamkan di laut guna membangun jembatan. Tak lama kemudian terbentuklah jembatan itu meskipun tidak sempurna, tetapi bisa digunakan untuk menyeberang Sri Rama dan segenap pasukan kera. Sampailah pasukan Sri Rama di pesisir Alengka di Gunung Suwela (Suwela Giri).  TANCEP KAYON. 

 Selalu Ada Jalan Bila Kita Berusaha Meskipun Mustahil. Sura Sudira Jayanikang Rat Syuh Brastha Dening Tekapning Ulah Darmastuti. Bersambung: Ngalengka Brubuh


Lebih baru Lebih lama